Bisnis.com, JAKARTA - Seusai menjalani pemeriksaan, Jumat (7/9/2018) tersangka kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih mengatakan Setya Novanto mengunjungi dirinya di rumah tahanan KPK.
Dia tidak menjelaskan alasan serta apa saja yang menjadi pembicaraan antara dirinya dan Setya Novanto. Namun, Eni mengatakan terdapat lima hal dari pembicaraan tersebut dan telah dia sampaikan ke penyidik KPK.
"Penyidik mengonfirmasi kepada saya atas kedatangan Pak Novanto menemui saya, saya sudah jelaskan apa yang disampaikan Pak Novanto. Ada lima hal (yang saya sampaikan) kepada penyidik...Ya, memang apa yang disampaikan oleh Pak Novanto membuat saya kurang nyaman," ungkap Eni di luar gedung KPK di Jakarta, Jumat (7/9/2018).
Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Setya Novanto, Firman Wijaya, mengatakan bahwa menurut kliennya kunjungan tersebut tidak lebih dari kunjungan biasa.
"Menurut Pak Nov, ya, tengok biasa saja. Ya, atensi sebagai mantan pimpinan Partai Golkar terhadap anak buahnya," ujar Firman kepada Bisnis, Sabtu (8/9/2018).
Berbeda dengan Eni Saragih yang mengatakan bahwa apa yang Setya Novanto sampaikan kepadanya saat kunjungan membuat dirinya merasa tidak nyaman, Firman Wijaya justru mengatakan hal sebaliknya soal kunjungan itu.
"(Setya Novanto) memberikan spirit moral agar tebah dan tegar dalam menghadapi kasus ini," jelasnya.
Setya Novanto saat ini merupakan terpidana kasus KTP-elektronik dengan hukuman kurungan penjara selama 15 tahun.
Dalam proses penyidikan kasus PLTU Riau-1, mantan Ketua DPR RI tersebut beberapa kali dipanggil sebagai saksi oleh KPK.
Pada pemeriksaan sebelumnya, Eni Maulani Saragih mengatakan dirinya mengenal Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham BlackGold Natural Resources Ltd., dari Setya Novanto.
"Ya, memang saya kenalnya dari siapa lagi? Saya kan kenal Pak Kotjo dari Pak Setya Novanto," ujar Eni Maulani Saragih seusai diperiksa di KPK, Rabu (5/9/2018).
"Dan perintah-perintah tentunya bermula dari sebelum Pak Kotjo, yaitu, perintah dari Pak Setya Novanto. Mudah-mudahan ini bentuk saya yang sangat kooperatif," lanjutnya.
Sementara itu, KPK menganggap terpidana kasus korupsi KTP-elektronik tersebut tahu mengenai kasus PLTU Riau-1.
"Berdasarkan keterangan awal atau informasi awal yang diperoleh penyidik, Pak SN dianggap mengetahui tentang proyek ini," ujar Laode Muhammad Syarif di kantor KPK di Jakarta, 27 Agustus 2018 lalu.
KPK, lanjutnya, mencurigai terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan Setya Novanto terkait dengan PLTU Riau-1.
Di hari yang sama, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan penyidik KPK perlu melakukan pendalaman terlebih dahulu terhadap Setya Novanto terkait dengan aliran dana.
"Kami mengikuti arus uangnya kemana saja, konsep follow the money menjadi penting di sana," ujar Febri.
Saat ini, KPK sudah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, yakni Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI, Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd, dan Idrus Marham, Menteri Sosial RI yang selama ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Sejumlah pihak telah diperiksa untuk kasus ini, yakni perusahaan dan anak perusahaan BUMN, perusahaan asing yang masih menjadi bagian atau mengetahui skema kerjasama PLTU Riau 1, Kepala Daerah, dan tenaga ahli.
KPK masih menggali proses persetujuan atau proses sampai dengan rencana penandatanganan kerja sama dalam proyek PLTU Riau-1.
Skema kerja sama dalam kasus PLTU Riau-1 juga menjadi fokus KPK.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih dan Idrus Marham disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak yang diduga pemberi, Johanes Budisutrisno disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.