Bisnis.com, JAKARTA – Sektor perkebunan dan properti dipandang masih menjadi penyumbang konflik lahan terbanyak dan menghambat proses reformasi agraria.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan menurut catatan akhir tahun KPA ada 758 konflik agraria sepanjang 2017.
Angka ini menurut Dewi meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Ada pun konflik agraria itu menurut Dewi terjadi hampir di semua sektor. Ada pun sektor yang mendominasi adalah perkebunan dan properti.
“Ada perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pesisir kelautan, tambang, dan pertanian. Yang tertinggi pertama adalah perkebunan yang posisi kedua itu ada properti,” terang Dewi di The Akmani Hotel, Jumat (3/7/2018) lalu.
Dewi menyebut konflik agraria ini menimpa bukan hanya masyarakat, tetapi juga lahan milik swasta ataupun lahan milik badan usaha milik negara.
Menurut Dewi, untuk sektor properti, aduan atas konflik agraria berkaitan dengan pembangunan reklamasi, real estate, dan residensial.
Baca Juga
Dewi menyebut, selain masalah pembangunan reklamasi dan real estate, adalah soal alih fungsi lahan subur pertanian dikonversikan ke lahan non pertanian, termasuk untuk properti.
Ada pula pengaduan lain seperti arena tambang yang menggunakan lahan pertanian masyarakat pedalaman.
Oleh sebab itu menurut Dewi, seringkali konflik agrarian ini lintas sektor. Misalnya kawasan hutan lindung diubah menjadi perkebunan.
Ada pun peringkat ketiga pengaduan konflik agraria terbanyak setelah pembangunan properti adalah pembangunan infrastruktur. Misalnya saja sejak untuk membangun bandara dan jalur kereta api. Saat ini, kata Dewi, KPA melakukan pendampingan litigasi dan non litigasi.
“Namun sayangnya konflik ini tidak ada penyelesaian. Ada yang melapor, tetapi tidak ada lembaga yang menyelesaikan konflik agraria,” ujar Dewi.
Oleh sebab itu, Dewi menyebut usulan KPA adalah meminta adanya lembaga penyelesaian konflik agraria yang langsung dibawah presiden.
Dia beralasan, mayoritas penyebab konflik agraria adalah perijinan yang dikeluarkan oleh pejabat publik tingkat daerah dan pusat. Oleh sebab itu kesalahan pejabat publik hanya bisa dikoreksi oleh presiden.
“Mereka tidak mungkin mengkoreksi keputusan mereka sendiri, apalagi ini lintas sektoral, melibatkan kementerian. Otomatis yang bisa hanyalah presiden,” jelas Dewi.
Sesditjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Reny Windyawati mengatakan saat ini pemerintah fokus melakukan legalisasi tanah sebagai bagian dari penataan aset.
Selain itu, pemerintah juga melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat bersumber dari tanah bekas, HGU, tanah terlantar, pelepasan kawasan hutan, dan tanah negara. Ada pun untuk redistibusi tanah kata Reny baru mencapai 287.596 bidang atau setara dengan 215.1245 hektar.
Sebagai informasi, sejak 2015 sampai Juli 2018 tercatat ada 7.565.236 bidang tanah atau ekuivalen dengan 1.665.548 hektare yang berhasil dilegalisasi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Angka ini masih jauh lebih tinggi ketimbang 10 tahun periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil melegalisasi 5.006.897 bidang tanah.