Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penggeledahan di Rumah Dirut PLN Sofyan Basir, KPK Cari Bukti Suap PLTU Riau-1

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kegiatan yang dilakukan KPK di rumah Sofyan Basir tidak lebih dari penggeledahan
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir berada di lobi seusai pertemuan dengan perwakilan KPK, di gedung KPK Jakarta, Senin (18/12)./ANTARA-Wahyu Putro A
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir berada di lobi seusai pertemuan dengan perwakilan KPK, di gedung KPK Jakarta, Senin (18/12)./ANTARA-Wahyu Putro A

Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengeledahan di rumah Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir yang berlokasi di kawasan Benhil, Jakarta Pusat, Minggu (15/7/2018).

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kegiatan yang dilakukan KPK di rumah Sofyan Basir tidak lebih dari penggeledahan.

"Masih proses penggeledahan saja, jadi belum ada penetapan tersangka," ujar Febri Diansyah kepada Bisnis.

Sebelumnya, Febri Diansyah membenarkan bahwa tim KPK melakukan penggeledahan di rumah Sofyan Basir. Dia mengatakan penggeledahan tersebut dilakukan terkait dengan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1.

"Benar, ada penggeledahan di rumah Dirut PLN yang dilakukan sejak pagi ini oleh tim KPK dalam penyidikan kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1," ujar Febri Diansyah ketika dikonfirmasi Bisnis.

Hingga sekitar pukul 17.00 Wib, tim KPK masih berada di lokasi penggeledahan. "Tim masih berada di sana. Penggeledahan di lokasi tertentu dilakukan dalam rangka menemukan bukti yang terkait dengan perkara," lanjut Febri.

KPK berharap pihak-pihak terkait dapat bersikap kooperatif dan tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat pelaksanaan tugas penyidikan.

Seperti diberitakan sebelumnya, KPK mengamankan anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih di rumah Idrus Marham, Menteri Sosial RI, di Jakarta, Jumat (14/7/2018) serta mengamankan 13 orang dari proses OTT secara keseluruhan.

Ke-tiga belas orang tersebut diamankan secara berturut-turut sejak Jumat siang. Dari 13 orang yang diamankan, KPK menyebut lima orang di antaranya, yaitu:

•Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI

•Johanes Budisutrisno Kotjo, swasta (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.)

•Tahta Maharaya, staf dan keponakan Eni Maulani Saragih

•Audrey Ratna Justianty, sekretaris Johanes Budisutrisno Kotjo

•M. Al-Khafidz, suami Eni Maulani Saragih

 

Adapun, delapan orang lain yang tidak disebutkan terdiri dari supir, ajudan, staf Eni Maulani Saragih, dan pegawai PT Samantaka.

"Dalam kegiatan ini KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sejumlah Rp500 juta (dalam pecahan Rp 100 ribu), dan dokumen/tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam konferensi pers di KPK, Sabtu (15/7/2018).

Uang tersebut, lanjut Basaria, diduga merupakan bagian dari komitmen fee 2,5% dari nilai proyek yang akan diberikan kepada diberikan kepada Eni Saragih dan kawan-kawan dengan kesepakatan kerja sma pembangunan PLTU Riau-1.

"Diduga penerimaan kali ini merupakan penerimaan ke-empat dari pengusaha JBK kepada EMS, dengan nilai total setidak-tidaknya Rp 4,8 miliar," lanjut Basaria.

Adapun, empat kali penyerahan tersebut dilakukan pada:

1. Desember 2017 sebesar Rp 2 Miliar

2. Maret 2018 Rp2 Miliar,

3. 8 Juni 2018 Rp300 juta

4. 14 Juli 2018 Rp500 juta

Diduga Eni Saragih berperan untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1.

KPK telah meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan dua orang tersangka, yaitu Eni Saragih diduga sebagai penerima, (anggota Komisi VII DPR RI), dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. diduga sebagai pemberi.

Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara itu, sebagai pihak yang diduga pemberi, Johanes Budisutrisno disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper