Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina Muhammad Helmi Kamal Lubis menggugat UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan tidak mengaudit lembaga pengelola dana pensiun perusahaan pelat merah.
Objek gugatan Helmi adalah Pasal 14, Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 52 ayat (4) UU Dana Pensiun. Ketiga pasal tersebut mengatur ketentuan audit laporan keuangan dana pensiun oleh lembaga akuntan publik yang ditunjuk oleh dewan pengawas.
Semasa memimpin DP Pertamina periode 2013-2015, Helmi merasa tidak pernah menyimpang dalam menjalankan tugas.
Dia membuktikan klaim itu dengan hasil audit akuntan publik terhadap DP Pertamina selalu mendapat predikat wajar tanpa pengecualian. Namun, pada kurun waktu yang sama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggelar audit investigatif terhadap DP Pertamina. Hasilnya, auditor negara itu menemukan adanya penyimpangan di lembaga yang dipimpin oleh Helmi.
Alhasil, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung menggelar penyidikan dugaan penyimpangan terkait penempatan investasi dana DP Pertamina di PT Sugih Energy Tbk (SUGI).
Kejagung akhirnya menetapkan Helmi Kamal sebagai tersangka, mendakwanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, hingga akhirnya diputus bersalah.
Baca Juga
Sumber Dana
Ahmad Bay Lubis, kuasa hukum Helmi Lubis dari Lubis-Agamas and Partners, mengklaim kliennya tidak semestinya dituduh melakukan tindak pidana korupsi karena dana kelolaan DP Pertamina bukan bersumber dari kas negara. Oleh karena itu, menurut dia, BPK tidak berwenang mengaudit laporan keuangan DP Pertamina.
Di sisi lain, Ahmad mengklaim penempatan uang DP Pertamina di SUGI dilakukan lewat mekanisme pasar modal. Ketika BPK menggelar audit investigatif saham SUGI di-suspend, tetapi saat ini sudah aktif dan sahamnya bernilai ekonomi.
“Bahwa transaksi repurchase agreement atau REPO saham SUGI oleh pemohon dilakukan pada Desember 2014. Pada saat itu tidak ada larangan sama sekali dari regulator sehingga tidak ada penyimpangan,” katanya dalam berkas permohonan yang dikutip Bisnis.com, Rabu (11/7/2018).
Berbeda dengan lazimnya permohonan uji materi di MK, Helmi Kamal tidak meminta Pasal Pasal 14, Pasal 52 ayat (1), dan Pasal 52 ayat (4) UU Dana Pensiun dibatalkan karena inkonstitusional.
Petitum pemohon adalah meminta MK memberikan tafsir bahwa ketiga pasal dalam beleid itu tidak bisa dimaknai selain yang tertulis secara eksplisit.
“Pemohon memohon MK menyatakan BPK tidak memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan audit keuangan dana pensiun,” kata Ahmad.
Berdasarkan hasil penyidikan Kejagung, keputusan Helmi Kamal menempatkan dana DP Pertamina ke SUGI pada 2014 diawali komunikasinya dengan pemilik Ortus Holding, Edward S. Soeryadjaya. Ortus Holding merupakan pemegang saham pengendali SUGI.
Saham
Saham milik Ortus Holding dibeli DP Pertamina senilai Rp601 miliar melalui PT Millenium Danatama Sekuritas. Atas permintaan Ortus Holding, uang pembelian saham dari DP Pertamina itu dipakai buat membayar kewajiban pinjaman Ortus Holding kepada sejumlah kreditor.
Helmi Kamal merupakan tersangka pertama kasus korupsi tersebut pada pertengahan 2017, menyusul status yang sama disematkan kepada Edward Soeryadjaya.
Pada sidang putusan Pengadilan Tipikor 29 Januari 2018, Helmi dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman penjara selama 7 tahun, denda Rp600 juta, dan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp53,41 miliar.
Edward Soeryadjaya masih menunggu vonis karena persidangannya masih berjalan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sidang perdana telah dimulai Pengadilan Tipikor pada 2 Mei 2018.