Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengibaratkan perang dagang Amerika Serikat dan China bak pertandingan Piala Dunia 2018 antara Inggris versus Kolombia yang berakhir 2-2 tanpa ada perpanjangan waktu.
"Tidak ada adu penalti," dikutip dari tulisan Dahlan di situs www.disway.id berjudul "Perang Itu Dimulai Besok Pagi", Jumat (6/7/2018).
Dahlan menggambarkan bentrokan antara dua negara adi daya itu segera dimulai tepat pukul 00.00 waktu setempat, tanpa bisa dihindari lagi. Bentrok dagang kedua negara berawal dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif masuk 25 persen untuk sejumlah barang Tiongkok yang diekspor ke sana, terutama baja dan alumunium, yang nilainya mencakup US$ 200 miliar.
Atas kebijakan tersebut, pemerintah China tidak tinggal diam. Mereka menerapkan kebijakan yang sama untuk barang-barang asal negeri Paman Sam, namun untuk komoditas yang berbeda, yakni hasil pertanian dan kebun buah.
Saat kebijakan itu dicetuskan, dua belah pihak sempat mencoba bernegosiasi.
"Sebab, mula-mula hanya sebatas ancam-mengancam. Gertak-menggertak," ujar Dahlan.
Tercatat, China mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC sebanyak dua kali, begitu pula AS yang dua kali mengirim perwakilannya ke Beijing. Bukannya mencapai jalan keluar, Trump malah mengancam menaikkan lagi tarifnya sebesar sepuluh persen.
"Presiden Trump naik darah. Seperti merasa dilawan anak kecil yang nakal," tulis Dahlan. Gertakan itu justru diladeni China dengan memberi balasan setimpal, namun kali ini barang yang dikenai bea masuk bertambah. Kini bea masuk itu dikenakan ke pesawat terbang.
Kebijakan itu pun direspons beberapa negara, seperti Prancis, Jerman, India, hingga Russia. Prancis datang ke Beijing guna menawarkan Airbus, seri pesawat Prancis yang hampir setara dengan Boeing Amerika. Lebih lanjut, kata Dahlan, negara-negara tersebut bersekutu dengan China untuk melawan AS.
Pascakebijakan itu berlaku, Dahlan menilai bukan hanya China yang bakal kesulitan, melainkan juga sahabat-sahabat Trump. Sebab, komoditas-komoditas yang dikenakan bea masuk di AS sejatinya tak melulu milik China.
Taiwan tercatat memiliki 50 ribu perusahaan yang beroperasi di daratan China dan hasilnya diekspor ke AS. Dampak kebijakan proteksionis Trump diprediksi turut memukul Jepang dan Korea Selatan.
"Padahal semua itu sahabat karib Amerika sendiri," tutur Dahlan.
Di sisi lain, Dahlan mengatakan ide Trump juga kian dilawan pengusaha besar di dalam negerinya. Misalnya, General Motor dan Harley Davidson yang mesti menebus harga baja impor dengan lebih mahal. Maupun petani kedelai yang marah, karena harga kedelai jadi turun.