Bisnis.com, JAKARTA – Sebulan lamanya umat Islam melaksanakan ibadah puasa, suatu ibadah yang mempunyai nilai keistimewaan di hadapan Allah SWT jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk ibadah lain.
Selain disebut sebagai ibadah pribadional (privacy), derajat pahala puasa juga tidak pernah ditampakkan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Allah SWT hanya memberikan sinyal ketakwaan saja bagi mereka yang melaksanakannya dengan baik (imanan wahtisaban).
Dari intisari pemahaman Alquran QS.2:183, yang dijadikan landasan normatif diwajibkannya puasa, Allah SWT tidak menunjuk secara langsung berapa dan apa imbalan (reward) bagi mukmin yang telah sukses melaksanakan puasa, tetapi yang Ia tampilkan adalah platform “la'allakum tattaqun” (mudah-mudahan kamu sekalian menjadi orang-orang yang bertakwa).
Ibarat seorang pekerja yang tidak pernah diberitahu kepastian upahnya oleh sang majikan, pasti mereka akan berlomba berbuat yang terbaik demi prestasi dan tingginya upah.
Dengan demikian, predikat takwa hanya akan diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman karena kesempurnaannya di dalam menjalankan puasa. Itulah yang membuat umat Islam semakin terangsang untuk berlomba beribadah pada bulan Ramadan.
Apalagi rangsangan itu bukan sekadar bermuara pada keutamaan ibadah puasa saja, tetapi lebih dari itu, Ramadan adalah sayyid al-syuhur atau bulan yang termulia dari segala bulan. Sungguh beruntung bagi mereka yang mampu melaksanakan ibadah di bulan suci ini secara maksimal tanpa sedikit pun cacat.
Jadi, Allah SWT menciptakan Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal sebagai hari pesta pora kemenangan dan saat syukuran yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah melakukan puasa dengan penuh kesempurnaan (imanan wahtisaban). Bak seorang bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. Lahir dengan wajah dan mental baru, menjadi manusia primordial dengan jiwa tauhid yang tinggi.
Idul Fitri adalah saat yang penuh kemuliaan, ampunan, kasih sayang, dan pujian kepada Allah SWT. Ia juga bisa dikatakan momen yang sangat menentukan bagi perjalanan seorang hamba di masa-masa mendatang. Saat itu adalah titik tolak seorang hamba untuk meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan akhirat.
Karenanya, Idul Fitri hanya bisa hadir tatkala manusia telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang tinggi, sebagaimana yang terjadi pada diri Muhammad SAW.
Sifat-Sifat Ketuhanan
Idul Fitri adalah momen bagi umat manusia untuk melepaskan segala bentuk kesenangan duniawi, yang disimbolisasikan dengan puasa (menahan diri), menuju kemanusiaan universal, yang ditandai dengan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan ke dalam dirinya. Inilah makna Idul Fitri, yaitu kembalinya manusia kepada primordialitas (kesucian), sebagai wujud kesejatian manusia di hadapan Tuhan Yang Mahasuci.
Dalam praktiknya, kesucian seorang hamba adalah gabungan tiga unsur, antara benar, baik, dan indah. Dengan demikian, seseorang yang merayakan Idul Fitri akan selalu berbuat yang benar, baik, dan indah. Bahkan lewat kesucian jiwanya, dia akan memandang segala sesuatu dengan positif. Sekaligus, selalu berusaha mencari sisi-sisi yang baik, benar, dan indah dari orang lain. Inilah landasan filosofis dari semua aktivitas manusia, termasuk bagi mereka yang merayakan Idul Fitri yang dituntut Alquran.
Alquran sendiri telah menggambarkan betapa Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hidupnya, beliau menjadi tumpuan perhatian umat manusia, karena segala perikehidupan dan sifat terpuji terhimpun dalam dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering.
Dalam konteks ini, manusia primordial adalah wadah ekspresi (tajalli) Tuhan yang paripurna. Segenap wujud hanya memiliki satu realitas tunggal, yaitu wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan arah dan waktu. Ia adalah esensi murni sekaligus miniatur dari segenap jagat raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisik maupun metafisik. Primordialitas manusia ini tidak lain karena ia merupakan identifikasi dari hakikat manusia.
Pada tingkat inilah, manusia primordial mencapai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq al-rahmaniyyah). Bahkan, manusia primordial memiliki tingkat pengetahuan yang bisa merealisasikan citra Tuhan dalam dirinya di tengah kehidupan sosial.
Dengan demikian, manusia primordial adalah manusia yang bisa menjadi cermin citra Tuhan yang sempurna. Makhluk yang paling unggul dalam tingkat kesadaran rohani dan pengetahuannya, sehingga mencapai peringkat tertinggi di antara makhluk yang ada di muka bumi.
Dalam konteks kekinian, persepsi tentang manusia primordial (suci) tentunya tidak sekadar dimaknai sebagai penafian terhadap kehidupan duniawi, tetapi lebih pada pemaduan keseimbangan (tawazun) antara urusan duniawi dan ukhrawi. Karena itu, berkontemplasi (uzlah) bagi manusia primordial tidak dimaknai sebagai saat untuk mengisolasi diri dari persoalan sosial kemasyarakatan.
Lebih dari itu, kontemplasi merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep, dan berinovasi serta berkreasi untuk kemudian melakukan aksi-aksi bagi perubahan sosial dengan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.
Dari sinilah, diharapkan manusia primordial muncul sebagai figur yang telah tercerahkan. Memang, orang yang tercerahkan bukan berarti bebas dari godaan wujud nafsu syahwat. Paling tidak, ia akan lebih peka dan efektif hati nuraninya, dan selanjutnya akan menjadi lebih santun, pemurah, serta penyabar. Ambisi untuk memenangkan kepentingan diri atau kelompoknya mungkin masih tersisa, tetapi tidak akan segera ditampilkan begitu saja dalam perilaku vulgar yang membuat tuli terhadap aspirasi dan kepentingan publik.
Selama Ramadan, jasmani dan rohani kita telah digodok untuk beribadah dan bermuamalah secara proaktif agar menjadi manusia yang primordial (suci), bermoral, dan bertakwa. Manusia yang lebih mengenali jati dirinya sebagai manusia yang lemah. Manusia awam yang gampang dikotori oleh debu duniawi.
Ini berarti, setelah ber-Idul Fitri maka setiap orang semestinya akan mengalami reaktualisasi diri sebagai manusia primordial, sosok manusia baru yang suci bak orok yang baru lahir dari gua garbaning ibu.
Setelah Idul Fitri mestinya akan terjadi revolusi mental yang tercermin pada terbentuknya reformasi kualitas hubungan sosial dalam masyarakat. Orang per orang atau kelompok per kelompok akan menghindarkan diri dari segala bentuk friksi dan konflik kepentingan yang menjurus pada perusakan dan perenggangan hubungan sosial.
Saat itulah berlaku makna simbolik Idul Fitri, yakni kembalinya manusia kepada fitrah kemanusiaan yang sejati. Dekat dengan Tuhan dan sesamanya, memiliki integritas moral yang tinggi, suci dari suap dan korupsi, serta tidak teralienasi dari nilai-nilai spiritual-religius.
Akhirnya, di tengah carut marutnya kondisi bangsa yang dinodai oleh sikap intoleran, saling membenci, menghujat, memfitnah, merebaknya kabar bohong, maraknya korupsi di semua lini, dan ancaman teror, marilah kita jadikan Idul Fitri kali ini sebagai momentum untuk melakukan rekonsiliasi nasional demi terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara. Wallahu A’lam..
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu 20 Juni 2018