Bisnis.com, RIYADH - Kementerian Luar Negeri Arab Saudi membantah pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron, kerajaan itu menawan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri pada November, kata media resmi Saudi pada Selasa (29/5/2018).
Dalam wawancara dengan stasiun televisi BFM TV pada pekan lalu, Macron menyatakan usahanya menghentikan perang di Libanon, yang jatuh ke dalam bahaya setelah Hariri mundur ketika berada di Arab Saudi, dengan mengatakan dia takut pembunuhan dan mengkritik saingan kawasan Saudi, Iran, dan sekutu Libanon-nya, Hizbullah.
Sumber dekat dengan Hariri mengatakan Arab Saudi menyimpulkan perdana menteri itu, sekutu lama Saudi, harus pergi karena dia tidak mau menghadapi Hizbullah.
Setelah campur tangan internasional, termasuk Macron, Hariri dapat meninggalkan kerajaan itu dan akhirnya membatalkan undur dirinya.
Pejabat Libanon menuduh Saudi pada saat itu menyandera Hariri. Riyadh, seperti halnya Hariri, membantah dia pernah melawan kehendaknya.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi pada Selasa menyebut pernyataan Macron "tidak benar" dan mengatakan kerajaan akan terus mendukung stabilitas dan keamanan Libanon.
"Semua bukti menegaskan apa yang menarik Libanon dan wilayah menuju ketidakstabilan adalah Iran dan alat-alatnya seperti milisi teroris Hizbullah ..." kata pernyataan itu.
Arab Saudi dan Iran terkunci dalam pertempuran puluhan tahun untuk pengaruh regional, yang sedang dalam konflik senjata dan perselisihan politik termasuk di Libanon, Suriah, Irak dan Yaman.
Prancis telah memelihara hubungan baru dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya dalam beberapa tahun terakhir atas sikap kerasnya terhadap Iran dalam perundingan nuklir, dan kesamaan luas kebijakan mereka tentang konflik di Timur Tengah.
Namun, upaya tanpa kompromi dari Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman untuk melawan pengaruh Iran yang semakin besar di Timur Tengah kadang-kadang dianggap sebagai aksi nekat di Paris.
Macron makan malam bersama Hariri dan Putra Mahkota Mohammed di Paris pada April setelah konferensi penggalangan dukungan internasional untuk program investasi demi meningkatkan ekonomi Lebanon.
Hariri, yang mengunjungi Riyadh pada Februari untuk pertama kalinya sejak krisis November, berupaya membentuk koalisi baru setelah pemilihan parlemen 6 Mei yang memperkuat saingannya Hizbullah dan sekutu politiknya.
Mereka meraih lebih dari setengah kursi di parlemen, sementara Hariri kehilangan lebih dari sepertiga dari kursinya. Namun, di bawah sistem pembagian kekuasaan sektarian Lebanon, ia tetap menjadi pelopor untuk membentuk pemerintahan berikutnya.