Bisnis.com, JAKARTA - Hari masih pagi, sekira pukul 06.30, pada 4 Mei 2018, saat sebuah benda berupa pipa paralon yang diikat kabel serta sebuah timer digital ditemukan tergeletak di sebuah desa bernama Compreng.
Desa Compreng bukan nama desa yang populer, letaknya di wilayah Kabupaten Subang Jawa Barat. Jadi tidak terlalu mengherankan jika temuan benda mirip bom rakitan itu tak serta merta menghiasi berita-berita di surat kabar dan media massa lainnya.
Temuan benda mirip bom yang tergelek di Jalan Gang Desa, di samping rumah Saumi itu tentu saja menimbulkan kekhawatiran warga. Mereka menemukan benda yang menyerupai bom rakitan itu terdiri dari bahan pipa paralon PVC warna abu-abu berdiameter 2,5 inci, panjang sekitar 25 cm.
Tak hanya paralon, juga ditemukan monitor bekas jam digital, dalam kondisi mati, sedangkan bagian ujung pipa paralon PVC ditutup dengan sekat karet terbuat dari bekas sandal jepit dan terdapat empat buah lubang kecil. Lebih mencemaskan lagi, dari ujung dan pinggir pipa paralon terdapat satu kabel (single) yang keluar - masuk. Salah satu kabel menempel ke monitor bekas jam digital, walau tak terhubung.
Andai Saumi tak melintas ke lokasi dan tanpa sengaja melihat benda yang menyerupai bom rakitan dalam posisi menyandar di samping sebuah batu yang berada di TKP, tentunya hari itu akan berlalu begitu saja tanpa rasa khawatir.
Saumi kemudian menyampaikan hal itu kepada menantunya, dan sang menantu setelah mengecek ke lokasi serta merta melaporkannya kepada Ketua RT dan kepada Kades Compreng Warmah.
Baca Juga
Warmah pun lantas melaporkan temuan itu kepada Polsek Compreng yang lokasinya tak jauh dari tempat ditemukannya benda mencurigakan tersebut.
Atas laporan tersebut, Polsek Compreng pun mengamankan lokasi serta berkoordinasi ke jajaran di atasnya. Jajaran Polres Subang, Brimob dan Jibom (penjinak bom) pun kemudian datang ke lokasi. Sekitar pukul 14.28 wib, tim Jibom Polda Jabar mengamankan mengamankan benda yang menyerupai bom rakitan tersebut.
Aparat dan warga pun lega setelah diketahui benda mirip bom rakitan itu adalah bom palsu belaka.
Namun, bukan berarti polisi tinggal diam setelah itu. "Kami terus melakukan penelusuran," ujar sumber di Polres Subang, Jawa Barat.
Hingga saat ini belum diketahui siapa yang meletakkan benda mirip bom rakitan tersebut. Entah ada korelasinya atau tidak, hari ini, Minggu (13/5/2018) pagi tiga Gereja di Surabaya diguncang ledakan dengan korban meninggal, hingga Minggu sore, tercatat 11 orang serta 40 korban luka.
Modus Bom Palsu
Saat mendengar kabar soal bom palsu tersebut, Bisnis.com sempat menyebutkan kemungkinan bom sesungguhnya bisa terjadi di mana saja. Analisis tersebut didasarkan sejumlah kejadian sebelumnya dengan awalan bom palsu atau ancaman bom palsu yang kemudian disusul dengan kejadian ledakan bom sesungguhnya.
Pihak Kepolisian tentu paham soal modus test the water yang bagai permainan petak umpet seperti dimainkan para pelaku teror.
Modus seperti ini bisa muncul dengan berbagai maksud di antaranya mengecek kesiagaan aparat atau mengelabui aparat untuk bisa mendeteksi di mana bom sesungguhnya akan diledakkan.
Kemungkinan lainnya, pelaku sengaja menantang aparat ikut dalam permainan mereka. Sibuk menerka, dan kalau waktunya habis, bom yang sesungguhnya pun akan meledak tanpa terdeteksi sebelumnya.
Satu hal yang tidak terduga dalam aksi peledakan bom kali ini, seperti dikatakan pengamat terorisme Al Chaidar, adalah munculnya modus baru di Indonesia dengan melibatkan perempuan dan anak-anak sebagai "pengantin".
Ia menduga, bisa jadi hal itu dilakukan karena para pelaku pria kebanyakan sudah diamankan oleh pihak kepolisian.
Ke depan, ia menyebutkan, untuk mengantisipasi munculnya aksi bom bunuh diri dan sejenisnya pola pendekatan terhadap kelompok yang diidentifikasi sebagai kelompok teroris dan keluarganya perlu diubah.
\Selain perlu adanya pendekatan kontra wacana, agar mereka tak terus terjebak dalam politik label, atau Framing seperti diistilahkan Fahlesa Munabari, pakar politik dari Pusat Studi Komunikasi dan Keindonesiaan, perlu dilakukan pendekatan kontra wacana.
Satu hal lagi yang penting dilakukan, ujar Al Chaidar, adalah program humanisasi kelompok-kelompok tersebut. Mereka perlu diperlakukan dan merasa diperlakukan secara manusiawi.