Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi didorong untuk terus menyidik perkara korupsi KTP elektronik pascavonis terhadap Setya Novanto.
Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan vonis terhadap terdakwa Setya Novanto bukan akhir dari pengusutan kasus megakorupsi e-KTP. KPK, lanjutnya, harus terus membongkar kasus ini secara tuntas.
“Kata kunci dalam penanganan kasus ini adalah tuntas. Pengusutan secara tuntas adalah dengan menjerat semua pihak yang terlibat baik disebutkan maupun tidak disebutkan dalam dakwaan. Selain itu, KPK tidak boleh hanya berfokus pada keterlibatan aktor individual tetapi juga perusahaan dan pemilik manfaat dari perusahaan,” ujarnya, Kamis (26/4/2018).
Untuk menyasar perusahaan, lanjutnya, KPK dapat menyandarkan diri pada Peraturan MA No. 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Sementara itu, pemilik manfaat sudah didefinisikan lebih lanjut oleh Peraturan Presiden No. 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi (beneficial owners).
Dia mengatakan, skema penanganan double track system yang menyasar individu dan korporasi ini diharapkan dapat membongkar jaringan korupsi dalam kasus tersebut. Selain itu, penanganan kasus demikian juga penting sebagai pijakan bagi KPK dalam menangani kasus-kasus lainnya.
“Publik tentu saja menanti keadilan dari penanganan KPK terhadap kasus ini,” pungkas pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.
Baca Juga
Seperti diketahui, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua JPU,” ujar ketua majelis Yanto.
Setya Novanto dijatuhkan hukuman pidana 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider kurungan selama 3 bulan. Selain itu, dia juga diberikan hukuman pengganti dengan membayar uang pengganti US$7,3 juta. Jika tidak membayar pidana pengganti dalam waktu sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, negara berhak menyita harta benda miliknya untuk dilelang.
“Jika harta benda yang dilelang tidak cukup, maka terdakwa dikenakan pidana selama dua tahun penjara. Menjatuhkan pula tambahan pidana pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun,” ujarnya.
Dia pun diperintahkan untuk tetap ditahan dan masa penahanannya sejak penyidikan akan dikurangkan seluruhnya dalam pidana penjara setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap.