Kabar24.com, JAKARTA — Pekerja migran rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, khususnya yang berangkat dengan cara-cara nonprosedural. Hal itu tidak menjamin pekerja migran legal akan terbebas dari segala permasalahan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, pekerja migran sangat rentan menjadi korban perdagangan orang karena termakan bujuk rayu dari para pelaku.
“Hampir dari semua kasus perdagangan orang yang dimintakan perlindungannya ke LPSK, terkait dengan rencana mereka untuk dipekerjakan di luar negeri,” ungkapnya Kamis (5/4/2018).
Menurutnya LPSK menangani kasus perdagangan orang terkait pengiriman pekerja migran, seperti pada kasus Anak Buah Kapal Kartigo pada 2013 di mana terdapat 57 orang korban.
Ada pula Erwiana yang disiksa majikannya di Hong Kong. Pada kasus Erwiana, yang bersangkutan berani memproses hukum pelaku yang terlibat baik di luar maupun dalam negeri. Terakhir, mencuat kasus yang menimpa Adelina, dimana pelaku dalam negeri kini tengah diproses.
Pada 2017, LPSK menerima permohonan perlindungan pada kasus perdagangan orang sebanyak 257 orang. Untuk tahun ini, permohonan perlindungan dari kasus serupa berjumlah 21 orang. Sedangkan layanan dalam kasus perdagangan orang yang masih berjalan diperuntukkan bagi 257 pemohon, terbagi atas pemenuhan hak prosedural bagi 241 orang, fasilitasi restitusi 193 orang, bantuan medis 23 orang, psikologis 18 orang dan perlindungan fisik 10 orang.
Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono menambahkan, jadi pekerja migran seakan menjadi satu-satunya opsi meningkatkan kesejahteraan, khusus di wilayah Indonesia Timur seperti NTT. Hal ini mengingat tingkat pendidikan yang rendah, lapangan kerja terbatas dan kondisi alam yang tidak subur.
“Tapi, harus diakui, remitansi dari pekerja migran seperti tercatat di BI mencapai Rp117 triliun. Bahkan, di beberapa daerah, remitansi dari pekerja migran bisa dua kali lipat PAD,” ungkap Hermono.
Dalam catatan BNP2TKI, jumlah pekerja migran dari jalur resmi cenderung menurun dari 512.168 orang pada 2013, turun drastis menjadi 275.737 pada 2015. Kemudian kembali turun pada tahun 2016 menjadi 234.451, meskipun kembali mengalami kenaikan pada 2017 menjadi 261.820.
Sempat menurun akibat adanya moratorium Timur Tengah. Tapi, penurunan jumlah itu tidak diikuti jumlah kasus yang menimpa pekerja migran, bahkan cenderung naik.
Kondisi demikian, menurut Hermono yang segera menjabat Duta Besar RI untuk Spanyol itu, lebih disebabkan karena meski angka pekerja migran menurun, tetapi mereka yang berangkat secara ilegal meningkat.
“Sebanyak 90% pekerja migran yang berangkat menggunakan non-prosedural. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya, mulai pencegahan, penegakan hukum dan menyiapkan peraturan perundang-undangan,” tutur dia.
Sementara Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi konsen Migrant Care pada awal 2018, antara lain pekerja migran yang terpapar ideologi radikal serta modus pengiriman siswa untuk magang ke luar negeri. Namun, ternyata setelah tiba di negara tujuan, mereka malah jadi korban perdagangan orang.
“Migrant care siap berpartner dengan LPSK agar pekerja migran yang jadi korban TPPO mau menjadi saksi,” ujar dia.