Kabar24.com, JAKARTA- Pemerintah akan menanggung beban berat jika rancangan KUHP disahkan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting menggunakan, pembaruan terhadap KUHP penting. Namun, dengan cara apa dan pengaturan akan seperti apa justru lebih penting.
"Asumsi bahwa KUHP saat ini adalah produk kolonial tidak tepat. KUHP saat ini tidak sepenuhnya kolonial karena Indonesia sudah melakukan revisi dengan metode amandemen terbatas beberapa kali. Terakhir KUHP direvisi melalui UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal ini menunjukkan pembaruan KUHP tidak melulu harus dengan perubahan total dengan alasan peninggalan kolonial," ujarnya, Minggu (11/3/2018).
Lebih besar dari isu kolonial, lanjutnya, pembaruan KUHP harus mengarah pada pengaturan yang berkualitas.
Dari berbagai materi yang sampai saat ini masih menjadi polemik seperti zina, kumpul kebo, penghinaan terhadap presiden, dan sebagainya, terlihat posisi RKUHP yang berupaya masuk jauh ke ranah privat, bertentangan dengan hak asasi manusia, serta memberikan porsi yang besar kepada negara untuk mengontrol perilaku masyarakat.
Konsekuensi lain, tuturnya, tidak hanya terhadap hak masyarakat melainkan juga kepada negara. Semakin banyak perbuatan yang dilarang ditambah pendekatan pidana penjara yang masih dominan membawa konsekuensi yang sangat besar secara ekonomi kepada negara. Ketentuan pidana penjara melonjak sangat signfikan melalui RKUHP dari 485 menjadi 1.154 ketentuan.
Baca Juga
Dengan kondisi ini, dampak yang paling pasti adalah Pemerintah harus mengeluarkan sumber daya yang cukup besar. Mulai dari membangun infrastruktur pemasyarakatan sampai pembinaan warga binaan.
Saat ini jumlah warga binaan Pemasyarakatan sebesar 118.718 orang. Apabila dikali asumsi makan layak sebesar Rp15.000 sekali makan, maka negara harus mengeluarkan Rp1,7 miliar untuk sekali putaran makan warga binaan.
Perhitungan ini, lanjutnya, masih sangat sederhana berdasarkan perhitungan sekali makan warga binaan Pemasyaratan. Belum termasuk belanja pegawai, pengadaan fasilitas binaan, hingga biaya lain sebagai ekses disahkannya RKUHP saat ini. Dari angka ini saja, peluang akan melonjak beberapa kali lipat jika RKUHP dengan pendekatan utama penjara seperti saat ini disahkan sangat besar.
"Pendekatan pidana penjara yang signifikan melonjak bukan hanya dari ancaman hukuman. Namun, disebabkan tindakan mengkriminalisasi perbuatan yang sampai saat ini masih jadi polemik seperti zina, kumpul kebo, penghinaan terhadap presiden, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan tindakan tetap mempertahankan perbuatan yang seharusnya didekriminalisasi seperti menunjukkan alat kontrasepsi di muka umum," paparnya.
Karena itu dia mengatakan, Presiden perlu secara cermat dan serius mengambil sikap terhadap pembahasan RKUHP. Dengan basis perlindungan terhadap hak masyarakat. Selain itu, juga dengan perhitungan alokasi sumber daya negara yang akan dihabiskan apabila RKUHP disahkan.
Presiden, katanya, sebaiknya memerintahkan Menkumham untuk menyetop pembahasan. Langkah berikutnya Presiden seharusnya melakukan evaluasi terhadap materi-materi dalam RKUHP dengan mendengarkan lebih banyak pihak.
Langkah evaluasi ini perlu dilakukan oleh Pemerintah dengan melengkapi perubahan KUHP dengan berbasis data.
Pihaknya memandang penyikapan dan posisi politik Pemerintah tentang RKUHP tidak didukung oleh argumentasi yang berbasiskan situasi dan kondisi sosial masyarakat yang seharusnya bisa tercermin dengan pengutipan data yang merepresentasikan penduduk Indonesia dan bukan segelintir kalangan saja.
"Percepatan pembahasan dengan pertimbangan menjelang tahun pemilu sebaiknya dikesampingkan. Sebaliknya, pembahasan RKUHP sebaiknya dihentikan untuk memastikan substansi yang lebih berkualitas. Besar harapan, jangan sampai RKUHP disahkan, Pemerintah justru tertimpa beban yang berat," pungkasnya.