Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Anti-Teroris di Singapura Ancam Kebebasan Pers

Rancangan undang-undang baru di Singapura, yang akan memberikan pejabat setempat wewenang memberangus pemberitaan terkait serangan teror dan gerakan keamanan negara, memicu kritik karena dianggap mengancam kebebasan pers.
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menonton kegiatan aerial flypast gabungan antara penerbang TNI AU dan Royal Singapore Air Force (RSAF), di Marina Bay Cruise Center, Singapura, Kamis (7/9)./REUTERS-Edgar Su
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menonton kegiatan aerial flypast gabungan antara penerbang TNI AU dan Royal Singapore Air Force (RSAF), di Marina Bay Cruise Center, Singapura, Kamis (7/9)./REUTERS-Edgar Su

Bisnis.com, SINGAPURA - Rancangan undang-undang baru di Singapura, yang akan memberikan pejabat setempat wewenang memberangus pemberitaan terkait serangan teror dan gerakan keamanan negara, memicu kritik karena dianggap mengancam kebebasan pers.

Dalam rancangan tersebut, pejabat setempat dapat melarang semua orang mengambil gambar dan video di wilayah kejadian teror atau mengirimnya. Pejabat juga mempunyai wewenang melarang komunikasi terkait operasi keamanan di tempat kejadian.

Singapura adalah salah satu negara dengan peringkat terbaik dalam keamanan. Namun, baru-baru ini mereka terus menaikkan kapasitas anti-terornya sebagai tanggapan atas peningkatan kegiatan kelompok bersenjata di kawasan Asia Tenggara.

Rancangan sama akan menghukum yang tidak mematuhi perintah penghentian komunikasi, yang telah disetujui Kementerian Dalam Negeri dan dijalankan kepolisian.

Kementerian Dalam Negeri Singapura mengatakan bahwa rancangan undang-undang ini ditujukan untuk mencegah bocoran informasi kepada kelompok teroris yang membahayakan nyawa petugas keamanan.

Sejumlah pakar keamanan memuji rencana itu.

Dalam jawaban melalui surat elektronik kepada Reuters, Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa "undang-undang ini tidak bertujuan untuk membatasi kebebasan pers ataupun akses publik terhadap informasi".

"Surat perintah hanya bisa dibuat oleh komisioner kepolisian, setelah kementerian mengeluarkan persetujuan, dan hanya jika komisioner merasa memerlukan langkah tersebut," katanya.

Namun demikian, lembaga Reporter Tanpa Batas, yang mempromosikan kebebasan pers, mengatakan bahwa "perintah penghentian komunikasi" akan menjadi "pelanggaran besar" terhadap kebebasan pers.

"Tidak ada pihak yang bisa memprotes perlunya perintah penghentian komunikasi saat terjadi serangan teroris," kata Daniel Bastard, kepada Wartawan Tanpa Batas.

Wartawan Tanpa Batas menempatkan Singapura dalam peringkat 151 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers mereka.

Komite Perlindungan Wartawan, badan mandiri di Amerika Serikat, juga menyampaikan kritik serupa.

Usulan undang-undang baru ini muncul bersamaan saat Singapura juga tengah berupaya memerangi berita bohong, yang menurut para pengamat akan semakin membahayakan karena bisa membatasi yang dapat disiarkan.

"Sangat sulit memisahkan rancangan undang-undang itu dari upaya negara untuk semakin menguatkan kendali terhadap sumber pemberitaan mandiri," kata Ian Wilson, pakar antiterorisme dari Universitas Murdoch di Australia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : REUTERS

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper