Kabar24.com, DENPASAR -- Masyarakat Desa Pekraman Padang Tegal Ubud memanfaatkan keuntungan objek wisata Monkey Forest Ubud untuk memperluas hutan menjadi 22 hektar.
Bendesa Pekraman Padang Tegal Ubud I Made Gandra mengakui keuntungan objek wisata Monkey Forest memang dimanfaatkan dengan optimal oleh masyarakatnya untuk kepentingan bersama. Hal itu mulai dari pembelian lahan untuk perluasan hutan, rumah kompos untuk mengurangi sampah, hingga gedung parkir untuk mengurai kemacetan.
Kata dia, saat ini luas Monkey Forest sudah mencapai 22 hektar dari sebelumnya yang hanya 7 hektar. Perluasan hutan ini penting dilakukan agar mengurangi tingkat stres monyet-monyet yang tinggal di dalam hutan. Adapun dengan 6.000 kunjungan tiap hari, monyet-monyet perlu diberikan keleluasan. Saat ini, Monkey Forest sudah memiliki 750 monyet.
"Sangat penting karena kalau Monkey Forest tidak diperluas karena monyet akan rusuh mereka perlu tempat seluas-luasnya," katanya kepada Bisnis, Selasa (27/2/2018).
Selain perluasan lahan, pihaknya saat ini juga membangun gedung berlantai 3 senilai Rp20 miliar yang dananya berasal dari keuntungan objek wisata Monkey Forest. Gedung ini nantinya akan dimanfaatkan untuk tempat parkir 500 mobil. Sementara, Monkey Forest juga telah memiliki lahan seluas 4 hektar yang tetap dimanfaatkan untuk parkir kendaraan sebanyak 200 mobil dan 2.000 sepeda motor.
"Kita mau mengosongkan jalan biar orang tidak parkir di pinggir jalan," katanya.
Desa Pekraman Padang Tegal Ubud juga memanfaatkan dana sebesar Rp1,5 miliar yang berasal dari keuntungan Monkey Forest untuk membangun rumah kompos.
Kepala Bagian Pelemahan atau Lingkungan Desa Pekraman Ubud I Made Gunarta mengatakan rumah kompos ini memberikan edukasi pengelolaan kompos ke masyarakat, berupa tidak membuang, tidak menanam, dan tidak membakar sampah. Lantaran kegiatan ini, Desa Padang Tegal Ubud pada 2017 lalu meraih penghargaan desa terbaik pengelolaan sampah. Selain itu, salah satu objek wisata yang terkenal di sana yakni Monkey Forest juga meraih penghargaan Kalpataru.
"Kita lanjut juga dengan program edukasi, bagaimana mengelola sampah kami punya tutorial dan itu gratis, hingga saat ini dari murid taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga universitas datang untuk belajar, bahkan universitas dari China juga ada," katanya belum lama ini.
Kata dia, produksi sampah organik di Desa Padang Tegal Ubud tiap harinya mencapai 24 kubik per hari dan anorganik mencapai 28 kubik per hari. Untuk mengatur sampah ini, desa melakukan pengelolaan dengan melakukan pungutan ke masyarakat maupun perusahaan yang beroperasi di sana.
Adapun desa melakukan subsidi sebesar Rp65 juta per bulan untuk mengelola sampah masyarakat setempat. Dana subsidi ini diperoleh dari keuntungan objek pariwisata Monkey Forest. Sementara, perusahaan diwajibkan untuk membayar iuran sebesar Rp350 ribu per kubik sampah.
"Uang Monkey Forest kita sisihkan untuk mengatur sampah masyarakat," katanya.