Bisnis.com, JAKARTA—Iran akan menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 jika tidak mendapatkan keuntungan ekonomi, sementara itu sejumlah bank besar terus menarik diri dari kerjasama dengan pelaku usaha asal Iran. Ancaman tersebut dilontarkan oleh Deputi Menlu Iran Abbas Araqchi.
Kesepakatan pada Juli 2015 antara Iran dengan enam negara maju seperti Inggris, China, Prancis, Jerman, Rusia, dan AS hingga kini masih berlaku. Dalam kesepakatan itu Iran harus membatasi program nuklir dengan imbalan sanksinya diperlunak agar kondisi ekonominya tidak memburuk.
Presiden AS Donald Trump memberikan ultimatum kepada sejumlah negara Eropa pada 12 Januari bahwa mereka harus “memperbaiki beberapa kesalahan dalam kesepakan nuklir dengan Iran.” Kalau mereka tidak mau dia akan memperpanjang sanksi pada Iran.
“Kesepakatan itu tidak akan bertahan dengan cara ini sekalipun ultimatum disetujui dan sanksi diperpanjang,” ujar Araqchi dalam pidatonya di Chatham House London sebagaimana dikutip Reuters Kamis (22/2/2018).
Menurutnya, jika sebuah kebijakan membingungkan dan tidak ada kepastian soal kesepakatan nuklir, apalagi jika perusahaan dan bank asing tidak mau bekerja sama dengan Iran maka kami tidak bisa menjamin kesepakatan yang tidak memberi keuntungan ekonomi bagi kami akan berjalan,” ujar Araqchi.
Trump melihat ada tiga kelemahan dalam kesepakatan itu. Pertama adalah kegagalan Iran menghentikan program nuklir balistik.
Baca Juga
Sedangkan yang kedua adalah soal persyaratan bagi inspektur internasional untuk memeriksa lokasi nuklir Iran. Dan, yang ketiga adalah soal klausul tambahan mengenai batas program nuklir harus berakhir setelah 10 tahun.
Dia menginginkan ketiga kesepakatan itu diperbaiki.
Sedangkan pihak Iran mengingatkan bahwa kegagalan dari kesepakatan akan menjerumuskan dunia kepada krisis nuklir baru.