Kabar24.com, JAKARTA – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang beranggotakan 193 negara berencana menggelar sidang istimewa darurat pada hari Kamis (21/12), pasca veto Amerika Serikat (AS) terkait rancangan resolusi atas Yerusalem.
Permintaan untuk sidang Majelis Umum PBB diajukan sejumlah negara Arab dan Muslim, guna menanggapi keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengatakan bahwa Majelis Umum PBB akan melakukan pengambilan suara atas rancangan resolusi yang menentang pengakuan Trump tersebut.
“Saya berharap akan ada dukungan yang luar biasa di Majelis Umum untuk resolusi tersebut,” ucap Mansour. Meski tidak mengikat, pengambilan suara oleh Majelis Umum PBB mengandung kepentingan politik.
Pada Senin (18/12) waktu setempat, pemerintah AS melalui Duta Besar untuk PBB Nikki Haley memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB yang digelar di markas besar PBB di New York.
Resolusi tersebut berisi ajakan kepada seluruh negara untuk menahan diri membentuk misi diplomatik di Yerusalem, seperti yang telah dilakukan oleh AS melalui kebijakan Presiden Donald Trump.
Sebanyak 14 anggota Dewan Keamanan lain memberi suara yang mendukung teks rancangan Mesir tersebut, tapi karena AS, salah satu anggota tetap Dewan Keamanan, memiliki hak veto maka rancangan resolusi tersebut gagal disahkan.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley, dalam sebuah surat kepada puluhan negara anggota PBB pada hari Selasa (19/12), memperingatkan bahwa AS akan mengingat pihak manapun yang memberi suara untuk resolusi sekaligus mengkritik keputusan AS.
“Presiden [Trump] akan memantau proses pengambilan suara ini dengan seksama dan meminta saya melaporkan kembali [nama] negara-negara yang memberikan suara untuk menentang kami. Kami akan mencatat setiap suara terkait masalah ini,” tegas Haley, seperti dikutip Reuters, Rabu (20/12/2017).
Dalam pidatonya di Gedung Putih pada Rabu (6/12) waktu setempat, Trump mengumumkan untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan bahwa AS akan memulai proses pemindahan kedutaan besarnya ke kota tersebut.
Langkah Trump ini dikhawatirkan dapat memicu kekerasan baru sekaligus mengubur harapan penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina. Dunia internasional pun mengecam keputusan Trump.
Mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel penuh dengan implikasi agama dan politik karena sektor timur kota tersebut, tempat beberapa situs kuno tersuci dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam, juga diklaim oleh warga Palestina sebagai ibu kota negara masa depan.
Masyarakat internasional menganggap sektor timur Yerusalem sebagai wilayah yang diduduki dan berpendapat bahwa status terakhir Yerusalem harus dinegosiasikan, tidak diumumkan secara sepihak. Walau memancing kecaman dunia, Presiden AS Donald Trump menegaskan pentingnya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Pada Senin (18/12), Haley mengatakan bahwa veto terhadap resolusi tersebut dilakukan demi membela kedaulatan dan peran AS dalam proses perdamaian Timur Tengah. Haley bahkan mengkritik resolusi tersebut sebagai penghinaan untuk Washington dan sesuatu yang memalukan bagi para anggota dewan.