Kabar24.com, JAKARTA - "Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Telah meninggal dunia ayahanda AM Fatwa pukul 6.25am di rumah sakit MMC dalam usia 78 tahun. Mohon dibukakan pintu maaf dan mudah2an ayah mendapat tempat terbaik di sisi Allah swt."
Pesan itu disampaikan Dian Islamiati Fatwa terkait kepulangannya Ayahandanya, AM. Fatma keharibaan Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Meninggalnya AM Fatwa, yang jenazah disalatkan di rumah duka Jalan Condet Pejaten no 11, belakang Republika, dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata usai zuhur itu menandai kepergian seorang politisi kritis terhadap rezim Orde Lama maupun Orde Baru.
Andi Mappetahang Fatwa terakhir menjabat sebagai anggota DPD RI asal DKI Jakarta untuk periode 2014-2019.
Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939, sejak muda Fatwa sudah aktif di beberapa organisasi Islam, bahkan ikut mengembangkan pendirian sejumlah cabang maupun komisariat.
Fatwa tercatat menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) sejak 1957, dari tingkat cabang, pengurus besar hingga kini sebagai Dewan Penasihat Perhimpunan Keluarga Besar PII.
Baca Juga
Saat menjadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta di Fakultas Dakwah, dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak 1960. Dia bahkan memelopori pembentukan HMI Komisariat IAIN dan Cabang Ciputat.
Aktivitas Fatwa di HMI dimulai dari tingkat komisariat, cabang hingga pengurus besar dan saat ini masih tercatat sebagai Dewan Penasihat Majelis Nasional Korps Alumni HMI (KAHMI).
Fatwa juga aktif di Muhammadiyah sejak 1959 dan tercatat pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting, cabang hingga Pimpinan Pusat. Saat ini, Fatwa masih menjadi Wakil Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah.
Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dibentuk, Fatwa terlibat dan aktif sejak 1993 mulai dari penasihat organisasi satuan, organisasi wilayah hingga kini masih tercatat sebagai Dewan Pakar Pengurus ICMI.
Aktivitas Fatwa hampir saja mengantarkannya menjadi perwira Angkatan Laut. Saat kuliah di IAIN Jakarta, dia mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Angkatan Laut dan pernah menjabat Ketua Korps Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta.
Dia kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Perwira Komando (Sedaspako) V Korps Komando (KKO) Angkatan Laut pada 1967, tetapi tidak berlanjut menjadi perwira.
Dia hanya menjadi imam tentara yang ditempatkan sebagai Kepala Dinas Rohani Islam Pusat Pendidikan Tamtama, merangkap sebagai Kepala Penerangan di Gunung Sari Surabaya.
Karir militernya berakhir pada 1969 dengan jabatan terakhir Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO Angkatan Laut di Surabaya sebelum akhirnya diperbantukan sebagai pegawai negeri sipil kepada Gubernur DKI Jakarta Letnan Jenderal KKO Ali Sadikin di bidang agama dan politik.
Fatwa sudah dikenal kritis sejak muda sehingga sering mendapatkan teror dan ancaman dari alat-alat penguasa mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru.
Itu sebabnya, dia juga cukup akrab dengan ranjang perawatan di rumah sakit, hingga dinginnya jeruji penjara.
Padahal di balik sikap kritisnya terhadap penguasa, Fatwa juga termasuk figur yang ikut mendirikan rezim Orde Baru, yang belakangan juga kerap dia kritik dan mengantarkannya ke jeruji penjara.
Saat Abdul Haris Nasution dan Ahmad Yani melakukan koordinasi dan konsolidasi kekuatan nonpartai politik untuk mengimbangi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), Fatwa ikut menandatangani deklarasi pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) mewakili PII.
Ketika Golkar menjadi kekuatan politik Orde Baru, Fatwa yang berstatus PNS di Pemerintah Daerah DKI Jakarta pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Pembinaan Rohani Golkar DKI Jakarta pada 1970-1976.
Meskipun ikut terlibat dalam membentuk Orde Baru, rezim itu pula yang pernah menjebloskan Fatwa ke penjara.
Akibat keterlibatannya dalam Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru, dia dituntut seumur hidup dan akhirnya divonis 18 tahun penjara.
Fatwa kemudian mendapat amnesti dan atas amnesti itu dia hanya menjalani kehidupan di penjara selama sembilan tahun kemudian menjadi tahanan luar. Total, dia pernah merasakan mendekam di penjara selama 12 tahun.
Meskipun berstatus narapidana bebas bersyarat pada 1993, atas seizin Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher menjadikannya staf khusus dan berlanjut pada Menteri Agama Quraish Shihab.
Pada akhir kekuasaan Orde Baru, Fatwa bersama eksponen bangsa lainnya terlibat dalam menggulirkan gerakan reformasi. Presiden Soeharto kemudian mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Fatwa kemudian menjadi salah seorang deklarator Partai Amanat Nasional (PAN), lalu menjadi Ketua DPP PAN dan Wakil Ketua MPP PAN. Saat ini, dia masih tercatat sebagai Dewan Kehormatan PAN.
Pada Pemilu 1999, Fatwa terpilih sebagai anggota DPR dari PAN, kemudian menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Pada Pemilu 2004, dia terpilih kembali sebagai anggota DPR dan menjadi Wakil Ketua MPR.
Pada Pemilu 2009 dan 2014, Fatwa memutuskan maju sebagai calon anggota DPD dan terpilih mewakili Provinsi DKI Jakarta.
Penghargaan Semasa Hidup
Fatwa mendapat sejumlah penghargaan baik secara politik, akademik maupun adat. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di bawah kepemimpinan Adhyaksa Dault pernah menganugerahinya gelar Pegawai Negeri dan Politisi Berkepribadian pada 1999.
Dia juga menerima anugerah tanda kehormatan Bintang Maha Putera Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Agustus 2008, Penghargaan Pejuang Anti Kezaliman dari Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad pada 29 Januari 2009 dan gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 16 Juni 2009.
Museum Rekor Indonesia (MURI) juga pernah memberinya tiga penghargaan, yaitu Anggota Parlemen Paling Produktif Menulis Buku (2004), Pleidoi Terpanjang di Pengadilan Negeri 1985 (2004) dan rekor penandatangan terbesar, yaitu 96 anggota DPD, saat menggagas Hak Bertanya Anggota DPD kepada Presiden tentang kebijakan mobil murah pada 2013.
Sejumlah masyarakat adat juga memberikan gelar kehormatan seperti Marga Ginting dari Tokoh Adat Brastagi (1999), Marga Harahap dari masyarakat Adat Padang Sidempuan (2001), Gelar Tumenggung Alip Jaya dari Adat Keratuan Paksi Pak Skala Brak (Kerajaan Tua di Lampung, 2006), dan Gelar Kanjeng Pangeran Notohadinagoro dari Pakubuwono XII (2002).
Kini, politisi kritis dengan segudang pengalaman dan penghargaan itu telah tiada. Tidak hanya dunia politik yang kehilangan atas kepergiannya, tetapi juga dunia pendidikan, sosial dan budaya ikut merasakan.