Bisnis.com, JAKARTA — Angka pengangguran di negara-negara maju sebagian besar telah mengalami penurunan, setidaknya sejak krisis keuangan global pada 2008/2009. Namun, kondisi tersebut tidak diiringi oleh kenaikan upah pekerja yang signifikan.
Tingkat upah di negara maju rata-rata hanya tumbuh sangat tipis atau bahkan mengalami penurunan. Ambil contoh Jerman, yang tingkat penganggurannya mencapai 3,9% pada semester I/2017 atau turun drastis dari 7,5% pada periode yang sama pada 2009.
Akan tetapi, pertumbuhan upah negara itu hanya tumbuh tipis dari -1,40% secara year on year (yoy) pada semester II/2008 menjadi hanya 0,6% secara yoy pada semester I/2017.
Kondisi terkait pertumbuhan upah bahkan lebih parah terjadi di Jepang. Pengangguran di Jepang mencapai level terendahnya selama 20 tahun terakhir dengan mencapai 2,8% secara yoy pada semester I/2017. Capaian itu jauh di bawah rekor terburuknya sejak krisis keuangan, di mana pada awal 2010 tingkat pengangguran mencapai 5,5%.
Namun uniknya, pertumbuhan upah justru anjlok menjadi -0,3% secara yoy pada Juli 2017 setelah sempat tumbuh tipis 0,6% pada Mei dan melambat 0,4% pada Juni.
"Semua data itu menunjukkanan kepada kita bahwa pasar tenaga kerja terus mengetat di Jepang. Namun sayangnya kita tak melihat adanya kenaikan upah dan itu terjadi secara global di negara maju," kata Mark Williams, Kepala Ekonom kawasan Asia di Capital Economics, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (1/10/2017).
Salah satu dampaknya secara global adalah bahwa inflasi tidak banyak meningkat meski sejumlah besar stimulus dilontarkan oleh bank sentral, bahkan ketika tingkat suku bunga berada di tingkat terendahnya atau negatif.
Adapun, bagi pekerja, lemahnya inflasi telah menutupi kekhawatiran mereka pada stagnasi pertumbuhan upah. Namun demikian kondisi ini diperkirakan tidak akan berlangsung lama.
Indeks kepercayaan konsumen Jerman pada September mengalami penurunan karena rendahnya pertumbuhan pendapatan mereka. Kondisi ini pada akhirnya akan memengaruhi aktivitas belanja perusahaan.
Sementara itu, rendahnya pertumbuhan upah telah menjadi sorotan Dana Moneter Internasional (IMF). Kekhawatiran itu dituangkan oleh IMF dalam laporan terbarunya yang disusun oleh ekonomnya yakni Gee Hee Hong, Zsoka Koczan, Weicheng Lian, dan Malhar Nabar.
Mereka menemukan keterputusan hubungan antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan upah. Pekerja di beberapa negara rela menerima upah yang tidak sesuai dengan jam kerjanya hanya demi mendapatkan pekerjaan.
Kondisi itu didukung pula oleh jumlah tenaga kerja yang melimpah di negara-negara maju. Akibatnya, banyak pekerja yang terpaksa menerima upah yang tak terlalu signifikan dan dengan sistem kerja kontrak.
Para pekerja khawatir apabila tuntutan atas upah mereka meningkat, maka mereka tidak akan dipekerjakan lagi atau tidak diperpanjang kontraknya. Selain itu, cukup banyak korporasi negara maju memberikan ancaman, jika tingkat upah pekerja dinaikkan. Mereka mengancam akan merelokasi perusahaannya ke negara berkembang yang notabene memiliki upah pekerja lebih rendah.
"Di sisi lain, meskipun pertumbuhan lapangan kerja terus menguat, jam kerja per pekerja terus menurun dan pekerjaan paruh waktu yang tidak disengaja telah meningkat di lebih dari dua pertiga negara maju," tulis laporan IMF.
Kondisi itu tentu saja menjadi ancaman tersendiri bagi perekonomian dan produktivitas negara-negara maju di masa depan.
Situasi akan semakin runyam ketika pada akhirnya para pekerja akan kembali kehilangan pekerjaannya di masa depan karena digantikan oleh mesin. Pasalnya, tren otomatisasi dewasa ini terus menguat.
Pada Maret, kantor konsultan PwC memperkirakan bahwa pada 2030 otomatisasi akan terus meluas di dunia. Robotisasi atau otomatisasi akan mengusai 38% dari lapangan pekerjaan yang ada di Amerika Serikat, 35% di Jerman, 30% Inggris, dan 21% di Jepang.