Kabar24.com, RAKHINE--Myanmar diketahui telah menghambat masuknya seluruh badan bantuan PBB untuk mendistribusikan kebutuhan pokok seperti bahan makanan, air bersih dan obat-obatan kepada warga sipil yang putus asa di tengah-tengah kampanye militer berdarah di Myanmar.
Dilansir melalui Guardian pada Senin (4/9/2017), bantuan dari PBB tersebut tertahan di sebelah utara Negara Bagian Rakhine setelah kelompok militan menyerang Pasukan Pemerintah pada 25 Agustus, pasukan tentara kemudian menanggapi penyerangan tersebut dengan serangan balasan yang memakan korban ratusan orang.
Kantor Koordinator Residen PBB di Myanmar mengatakan kepada Guardian bahwa distribusi bantuan ditangguhkan karena situasi keamanan dan larangan kunjungan lapangan oleh pemerintah yang membuat mereka tidak dapat mengirimkan bantuan.
Hal tersebut menggambarkan sikap pihak berwenang yang enggan memberikan izin bagi PBB untuk beroperasi.
"PBB berada dalam kontak dekat dengan pihak berwenang untuk memastikan bahwa operasi kemanusiaan dapat dilanjutkan sesegera mungkin," katanya.
Alternatif yang saat ini dilakukan adalah mengirimkan bala bantuan melalui sisi lain dari Negara Bagian Rakhine.
Baca Juga
Dalam bentuk kekerasan paling mematikan selama beberapa dekade terakhir di wilayah tersebut, militer dituduh melakukan kekejaman terhadap minoritas Muslim Rohingya yang teraniaya.
Puluhan ribu diantaranya telah meninggalkan desa-desa yang dibakar ke negara tetangga, Bangladesh.
Staff dari badan PBB terkait pengungsi (UNHCR), United Nations Population Fund (UNFPA), dan United Nations Children's Fund (UNICEF), tidak bisa melakukan kerja lapangan di bagian utara Rakhine selama lebih dari satu pekan.
Pembatasan distribusi bantuan yang menyangkut penyelamatan masyrakat akan memberikan pengaruh terhadap mayoritas Buddha yang miskin serta Rohingya.
Program Pangan Dunia PBB (World Food Programme) mengatakan bahwa pihaknya juga harus menunda distribusi ke sisi lain negara bagian Rakhine sehingga berdampak pada seperempat juta orang tanpa akses terhadap bahan makanan.
16 organisasi bantuan non-pemerintahan, termasuk Oxfam dan Save the Children, juga mengeluhkan bahwa pemerintah Myanmar telah membatasi akses mereka menuju wilayah konflik.
Pierre Peron, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Myanmar, mengatakan organisasi kemanusiaan saat ini sangat prihatin dengan nasib ribuan orang yang terkena dampak kekerasan yang terus berlanjut.
Pengungsi yang telah sampai di Bangladesh selama sepekan terakhir menceritakan kisah-kisah mengerikan tentang pembantaian di desa-desa yang dikatakan digrebek dan dibakar oleh tentara.
Sepanjang perbatasan bisa terlihat asap hitam tebal membumbung dari permukiman kecil yang dikelilingi lahan hijau.
Beberapa penduduk menyebutkan, pemerintah menyalahkan kelompok pemberontak karena mereka membakar rumah sendiri dan menuduh mereka membunuh umat Buddha dan Hindu.
Meskipun Rohingya telah mengalami penindasan selama beberapa dekade, kekerasan baru-baru ini dilihat sebagai eskalasi yang berbahaya karena dipicu oleh kelompok militan baru Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army.
Kelompok militer mengatakan sebanyak 400 orang telah terbunuh dan sebagian besar mereka dinyatakan sebagai teroris, namun angka resminya sulit untuk diverifikasi sejak ada pembatasan dari Pemerintah Myanmar.
Diperkirakan 1,1 juta Rohingya tinggal di Myanmar tanpa kewarganegaraan sejak negara tersebut menolak memberikan mereka identitas, sikap ini dikecam secara internasional atas perlakuan buruk terhadap etnis minoritas.
Tokoh agama Buddha garis keras di Myanmar telah memicu sentimen anti-Muslim dna menuduh pekerja sosial memihak kepada Rohingya.
Kantor-kantor penyalur bantuan di Ibu Kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe, digeledah pada kerusuhan 2014.
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi juga telah menjalin hubungan yang semakin antagonistik dengan organisasi kemanusiaan di Myanmar.
Lebih dari 100.000 Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di Rakhine sejak 2012 saat bentrokan antara kelompok Muslim dan BUddha terjadi, terpaksa harus keluar dari area tersebut dan tidak tersentuh bala bantuan sejak sepekan lalu.
Kontraktor dilaporkan menolak untuk melakukan pengiriman ke kamp pengungsi karena mereka terlalu takut dengan persepsi negatif dari penduduk lokal.
Pihak berwenang juga menolak akses staf internasional dengan menahan persetujuan visa sementara staf "non-kritis" dari bagian utara Rakhine telah dievakuasi.
"Ada kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan warga sipil lainnya yang terkena dampak kekerasan agar dilindungi dan mendapat akses yang aman terhadap bantuan kemanusiaan termasuk bahan makanan, air berih, tempat tinggal, dan layanan kesehatan," ujar Peron.
Dia menambahkan bantuan kemanusiaan biasanya ditujukan kepada orang-orang yang bergantung pada bantuan tersebut.
"Demi orang-orang yang rentan di semua komunitas di negara bagian Rakhine, tindakan mendesak harus dilakukan agar kegiatan kemanusiaan penting dapat dilanjutkan," tukasnya.