Bisnis.com, JAKARTA—Dua asosiasi besar farmasi beda sikap soal Undang-Undang No.13/2016 tentang Paten.
Perbedaan pendapat itu terkait tentang amanat Pasal 20 Undang Undang No. 13/2016 tentang Paten, yang membicarakan persyaratan pembuatan produk paten di dalam negeri.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan banyaknya produk paten yang diproduksi dalam negeri akan membuat ketahanan industri farmasi nasional meningkat. Selain itu, produksi obat paten di dalam negeri, juga mendukung program kesehatan nasional.
“Dengan begitu harganya akan lebih murah, karena diproduksi di dalam negeri. Karena itu juga, ketersediaannya lebih terjamin dan merata. Paling penting adalah alih teknologi,” tuturnya kepada Bisnis.com, Minggu (18/6/17).
Semetara itu, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan konsumsi obat paten di sebuah negara tidak selalu besar, maka jika harus dipaksakan untuk diproduksi di dalam negeri, perhitungan ekonominya tidak menguntungkan.
Jika dikaitkan dengan amanat Pasal 20 Undang Undang No. 13/2016 tentang Paten, yang menjelaskan tentang kewajiban pemegang paten dalam membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia.
Baca Juga
Selain itu, dalam membuat produk atau menggunakan proses produksi, harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.
“Sebagai investor dalam menemukan produk ini mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dengan peluang mendapatkan keuntungan tidak lama. Karena amanat ini untuk semua produk paten, tentu sepertinya farmasi juga dirugikan,” katanya
Menurutnya, konteks transfer teknologi sebaiknya dipandang secara luas. Misalnya, setiap memasarkan produk baru, manufaktur harus mengeluarkan investasi untuk mengedukasi dokter. Akan tetapi, jika dipandang secara sempit transfer teknologi selalu dikaitkan dengan pembangunan pabrik.
Sebagai pihak yang setuju dengan amanat Pasal 20 UU No.13/2016, GP Farmasi menyoroti soal keterbukaan pemberian Lisensi-wajib dari pemerintah. Hal itu, juga berkenaan dengan royalti yang diberikan kepada pemegang paten.
Darodjatun mengatakan biasanya pemegang paten akan memilih pelaksana patennya, untuk memproduksi produknya.
“Makanya kalau bekerja sama dengan industri dalam negeri, nanti tinggal bayar royalti. Biasanya untuk pembayaran royalti, kami keluarkan kalimat fee yang terbatas,” ujarnya.
Berkenaan dengan pesan Pasal 20, Pemerintah sedang menyusun beleid turunan sejenis Peraturan Presiden. Saat ini, Rancangan Perpres Pelaksanaan Paten dan Pemegang Paten sedang disiapkan.