Kabar24.com, JAKARTA - Banyak negara yang masyarakatnya relatif mengalami apa yang disebut Islamphobia. Namun, tidak di Korea Selatan. Setidaknya itu yang saya rasakan. Di negeri ini, kebebasan beragama dijamin pemerintah asal tidak membahayakan negara.
Di Korsel, muslim boleh berkembang, berdakwah, dan hidup berdampingan dengan umat Kristiani dan Buddha. Hidup dalam suasana yang harmoni.
Sekedar info, separuh lebih dari warga negeri ginseng tidak mengenal agama (atheis). Namun, mereka tidak anti kepada pemeluk agama. Ketika masyarakat berbincang tentang agama, misalnya, terlihat tidak ada nuansa primordialisme. Tidak heran bila percaturan politik juga tidak diwarnai dengan isu-isu keyakinan.
Pemerintah sendiri membangunkan setidaknya lima masjid raya di berbagai kota meski umat Islam hanya kisaran 7% dari total penduduknya, atau minoritas. Masjid terbesarnya berada di Itaewon, Seoul, sedangkan terbesar kedua berada di kota Busan. Umat Islam setempat bernaung dibawah organisasi Korean Moslem Fedederation (KMF), kalau di Indonesia Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hal yang unik, warga asing juga bebas untuk melaksanakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian, menyewa ruangan untuk masjid dan lain sebagainya.
Sebanyak 38.000 warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di sana umumnya umat Islam sangat menikmati kebebasan yang diberikan oleh Pemerintah Korea Selatan.
Boleh percaya atau tidak, WNI di negeri kimchi mempunyai lebih dari 50 masjid dan musala. Sebagian besar masih mengontrak ruangan dengan nilai masing-masing kisaran Rp15 juta. Namun, sekarang 5 di antaranya berupa gedung masjid telah dibeli secara saweran dengan nilai Rp40 miliar.
WNI yang kebanyakan para pendulang devisa atau TKI tersebut memang bukan kaum marjinal sebagaimana dipersepsikan selama ini.
Mereka memiliki pendapatan per bulan hingga Rp30 juta dan mendapatkan tempat tinggal serta makan dua kali sehari. Bukan hanya itu, TKI resmi akan mendapatkan asuransi yang mencukupi.
Para TKI tersebut umumnya ingin hidup di Korea layaknya di desanya. Untuk itu, mereka "mendirikan" masjid dan musala untuk kebutuhan rohani mereka. Kebetulan, dari sisi keuangan memang mendukung.
Di bulan suci ini, WNI di Korea biasanya ngeriung di masjid dan musala Indonesia pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Mulai buka puasa hingga salat Tarawih. Bahkan, tidak jarang mereka tidur bareng-bareng di masjid. Maklumlah, pada hari kerja normal, tidak jarang mereka baru pulang dari pabrik pada pukul 21.00 waktu setempat.
Yang paling seru adalah ketika Lebaran jatuh pada hari Minggu. Inilah perayaan akbar para WNI di Korea Selatan. Ribuan WNI akan pergi ke ruang publik dengan baju baru dan gawai yang serba canggih. Berkumpul dan bersalam-salaman seperti di kampung halaman.
Yang harus dihindari WNI dan warga lain adalah kegiatan yang bersifat mengancam keamanan negara. Embrio dan aksi terorisme akan diberantas dengan penuh ketegasan. Semua dimaksudkan untuk menjamin keharmonisan kehidupan dalam peradaban yang tinggi.
Penulis
M. AJi Surya
Koordinator Fungsi Konsuler, Minister Counsellor KBRI di Seoul