Bisnis.com, BANDUNG - Kalangan pelaku usaha properti di Jawa Barat menilai pemerintah provinsi gagal menangkap peluang dan memaksimalkan potensi yang ada termasuk keberadaan industri properti yang bisa menggerakkan perekonomian daerah.
Pelaku usaha properti Jawa Barat Hari Raharta menyatakan, perumahan sebagai lokomotif ekonomi tidak dimanfaatkan dengan baik. Padahal di sektor perumahan bisa mengerakkan 174 industri ikutan. Kegagalan memahami pentingnya properti itu terlihat dari masih rumitnya perizinan.
"Memang pusat ada penyederhanaan perizinan dari 700 hari untuk sebuah izin menjadi 44 hari. Pelaksanaannya pemda tidak menyadari hal itu sehingga masih ada yang 350 hari bahkan masih dianggap sumber pemasukan. Padahal seharusnya, berpikirnya dari NJOP setelah perumahan itu masuk," katanya, saat menjadi pembicara pada Diskusi Mengenai Ekonomi Jabar di Hotel Aryaduta, Bandung, Jumat (19/5/2917).
Pemerintah tidak lagi menjadikan perizinan sebagai sumber pendapat asli daerah (PAD). Karena ketika perumahan itu sudah berdiri, maka akan ada kenaikan drastis pada Nilai Jual Objek Pajak (JNOP) yang sebelumnya Rp100.000 bisa menjadi Rp400.000.
Menurutnya, Jabar merupakan provinsi yang paling banyak industri. Dengan kata lain bisa dilihat pula bahwa perumahan di Jabar menjadi sektor riil yang tertinggal. Saat ini backlog nasional itu mencapai 14 juta unit dengan 45% diantaranya berada di Jabar.
"Katanya sandang, pangan dan papan ada di undang-undang. Tapi, masalah papan ini belum jadi perhatian serius juga," ucapnya.
Baca Juga
Banyak kemudahan dalam rangka pemenuhan perumahan yang diberikan pusat tapi tidak ditangkap oleh daerah. Program 1 juta rumah bukan untuk pusat, tapi di daerah dan Jabar terbesar. Dalam praktiknya banyak kendala yang dihadapi pelaku usaha. Ke depan, pemerintah harus menjadikan pengembang sebagai partner.
"Seharusnya pengusaha yang telah lama membantu itu ditanya apa kendalanya juga. Oleh karenanya wajar apabila dalam pemilihan gubernur, perumahan akan menjadi isu seksi," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Apindo Jabar Dedy Wijaya menyatakan, saat ini hampir 50% dari industri manufaktur nasional ada di Jabar, 60% indstri tekstil ada di Jabar bahkan 90% industri otomotif ada di Jabar dengan industri pendukungnya potensial untuk menggerakan ekonomi Jabar.
"Tapi sekarang tidak ada perhatian. Kemarin pengusaha Korea Selatan minta antar saya menghadap Gubernur agar minta upah dibawah UMK yang tiga tahun berturut dikabulkan, tapi tahun ini tidak dikabulkan. Memaksa ditunaikan dan dikeluarkan," ucapnya.
Jumlah tenaga kerja dari industri yang ada di Jabar mencapai 8 juta orang. Seharusnya, yang menjadi gubernur memahami bahwa persoalan upah juga sangat sensitif bagi pengusaha. Karena upah tertinggi di Indonesia ada di Jabar tepatnya di Kab Karawang.
"Tapi, anehnya kemiskinan yang cukup tinggi ada di Karawang juga. Inikan aneh sebagai pemimpin ada sesuatu yang tidak pas. Saya harapkan hal tersebut jangan sampai terjadi," ucapnya.
Apindo Jabar menilai sudah waktunya Jabar memberikan kesempatan agar dipimpin seorang pengusaha. Ini penting karena gesekan antara pengusaha dengan pihak yang berkepentingan memerlukan intervensi kepala daerah. Di situlah urgensitas pempimpin pro pengusaha diperlukan.
Ketua PHRI Jabar Herman Muhtar menambahkan, potensi Jabar di bidang pariwisata sangatlah besar. Tapi, akibat persoalan infrastruktur yang belum memadai sehingga belum bisa mensejahterakan rakyatnya.
"Ke depan, harus diolah dengan baik dengan melibatkan sejumlah pihak baik pemerintah, pengusaha, masyarakat hingga perguruan tinggi. Pemimpin ke depan harus memahami potensi yang dimiliki Jabar," paparnya.