Kabar24.com, JAKARTA – Sebanyak 17 orang narapidana tewas akibat tembakan yang dilepas petugas Lembaga Pemasyarakatan Papua Nugini dalam sebuah aksi pelarian diri massal.
Seruan untuk melakukan investigasi terkait lapas-lapas yang penuh sesakdi negara-negara Asia Pasifik, di mana Australia menempatkan para pencari suaka, dikumandangkan sebagai respons atas insiden ini.
Sementara itu, 50 narapidana lain yang berhasil lolos dari Penjara Buimo di Kita Lae, Papua Nugini, hingga kini masih dicari. Polisi setempat, melalui akun Facebook resmi mereka mengingatkan potensi meningkatnya tindakan pencurian mobil danpoerampokan bersenjata.
"Mereka adalah orang-orang berbahaya. Polisi mengantisipasi kemungkinan meningkatnya aksi kriminal serius di kota ini," kata Pimpinan Polisi Kota Lae seperti dikutip dari Reuters, Senin (15/5/2017).
Media setempat menyebut, sekitar 40 tahanan mencoba melarikan diri dari Lapas Buimo, berjarak 320 kilometer di sebelah utara Ibu Kota Papua, Port Moresby.
Harian lokal, The Post Courier, menyebut sebanyak 17 tahanan ditembak dan tewas, tiga orang berhasil diamankan, sementara 57 lainnya masih dicari.
Baca Juga
Aksi ini merupakan percobaan melarikan diri massal yang ketigakalinya di Lapas Buimo dalam tiga tahun terakhir.
Kelompok HAM internasiinal berulang kali meminta agar dilakukan penyelidikan atas penjara-penjara yang ada di Papua Nugini. Hal ini dipicu kekhawatiran terkait jumlah tahanan yang melebihi kapasitas penjara, terbatasnya akses perawatan medis, dan keterlambatan proses peradilan.
"Sayangnya, insiden yang tragis ini terlalu sering terjadi di Papua Nugini karena buruknya akuntabilitas perugas polisi dan keamanan," kata Kate Schuetze, peneliti Amnesty International.
Februari tahun lalu, 11 tahanan terbunuh dalam upaya melarikan diri dari Lapas Buimi, setelah 30 tahanan menyerang para penjaga. Sebanyak 55 pria melarikan diri dari dari penjara dalam aksi 2015 dan dua tahun sebelumnya seorang tahanan ditembak mati ketika 44 orang lainnya melarikan diri dari penjara yang sama.
Australia mendirikan tahanan untuk para pencari suaka di Pulau Manu, Papua Nugini seiring dengan penerapan kebijakan yang tidak mengizinkan orang yang datang dengan kapal untuk masuk dan menetap di negeri Kangguru itu.
Kamp pengungsi di Manu, satu dari dua pusat tahanan pencari suaka yang dibiayai Australia ini mendapat kritik oleh kelompok pembela HAM dan PBB akibat kondisi yang tidak layak dan kurangnya fasilitas kesehatan, serta banyaknya kekerasan.