Bisnis.com, JENEWA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump harus menyampaikan kepada Presiden Filipina Rodrigo Duterte keprihatinan atas ketidakpeduliannya pada tugasnya mengadili pelanggaran hak asasi manusia, kata kepala hak asasi manusia PBB Zeid Ra'ad al-Hussein, Senin (1/5/2017).
Gedung Putih pada Minggu (30/4/2017) membela keputusan Trump mengundang Duterte ke Washington, dengan mengatakan bahwa kerja samanya dibutuhkan untuk melawan Korea Utara, bahkan saat pemerintahannya menghadapi kritik tentang perlindungan hak asasi manusia.
"Kami berharap pesannya sangat jelas dan tidak tergantikan disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat kepada Presiden Filipina," kata Zeid dalam jumpa pers.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa hampir 9.000 orang, kebanyakan pengguna narkotika dan pengedar kelas teri, terbunuh sejak Duterte menjabat hampir 10 bulan yang lalu dan menjanjikan perang tanpa henti untuk membersihkan Filipina dari narkotika, yang terlarang.
Polisi mengatakan sekitar sepertiga korban ditembak oleh petugas untuk membela diri. Sementara itu kelompok hak asasi manusia percaya bahwa banyak orang dari dua pertiga sisanya dibunuh oleh pembunuh bayaran yang bekerja sama dengan polisi atau polisi sendiri yang menyamar sebagai warga sipil. Pemerintah dan polisi membantah itu.
9.000 Orang terbunuh sejak Duterte menjadi Presiden Filipina
Patrick Murphy, asisten menteri luar negeri Amerika Serikat untuk Asia Tenggara, mengatakan Amerika Serikat memiliki tujuan yang sama dengan Manila untuk menghilangkan momok obat terlarang dan memiliki keinginan untuk membantu.
Baca Juga
Foto:Reuters
Pendukung hak asasi manusia prihatin saat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson mengesampingkan pertanyaan tentang pembunuhan di luar hukum di Filipina selama dengar pendapatnya pada bulan Januari, yang meningkatkan kemungkinan bahwa Presiden Donald Trump mungkin mengambil kebijakan yang lebih lunak pada masalah ini dibanding pendahulunya, Presiden Barack Obama.
Murphy mengatakan ada perbedaan antara menjadi calon dan menteri luar negeri dan Tillerson sekarang menjadi pemimpin kebijakan yang mengungkapkan kekhawatiran tentang cara perang obat terlarang sedang dilancarkan.
"Kami mendesak Filipina untuk menindaklanjuti komitmennya untuk menyelidiki pembunuhan di luar hukum apakah mereka dilakukan oleh penegakan hukum, atau sifat main hakim sendiri," kata dia.
Foto:Reuters
Sebelumnya, kantor Duterte menolak tuduhan oleh dua petugas polisi senior di sebuah laporan Reuters bahwa polisi menerima penghargaan uang tunai untuk mengeksekusi tersangka narkoba, sedangkan kritikus populer presiden mendukung tuduhan itu.
Duterte sangat marah dengan ekspresi keprihatinan Amerika Serikat pada pembunuhan di luar hukum setelah dia menjabat tahun lalu dan mengancam untuk memutuskan aliansi pertahanan Amerika Serikat yang sudah berlangsung lama.
Duterte berbicara positif tentang Trump, seorang rekan populis, setelah pemilihan presiden Amerika Serikat pada November, meskipun retorika antiAmerika Serikat berlanjut.
Duterte mengancam untuk memutuskan aliansi pertahanan Amerika Serikat yang sudah berlangsung lama.
Sebelumnya, seorang pensiunan polisi, yang bersaksi membunuh ratusan orang saat bekerja untuk "pasukan maut" di bawah Presiden Filipina Rodrigo Duterte ketika menjabat wali kota, mengaku meninggalkan negara itu karena takut.
Arturo Lascanas pada Februari mengatakan dalam sidang Senat bahwa ia menewaskan 300 orang, sekitar 200 orang saat menjadi anggota "pasukan maut", yang dinyatakannya atas perintah Duterte ketika menjabat wali kota kawasan Filipina selatan, Kota Davao.