Kabar24.com, JAKARTA — Meski pengaduan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan periode Januari—Maret 2017 mengalami penurunan jumlah, pemerintah mulai dari pusat hingga di daerah perlu melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang bersumber dari keyakinan beragama.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengatakan berdasarkan data yang diterima bagian dukungan pelayanan pengaduan, selama Januari—Maret 2017 yang terkait dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tidak sebanyak periode-priode sebelumnya.
“Ada 10 pengaduan yang diterima tetapi setelah dicermati, ternyata hanya enam di antaranya yang tergolong sebagai pengaduan yang terkait KBB,” paparnya, Selasa (25/4/2017).
Adapun enam aduan tersebut meliputi warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kota Banjar yang mengajukan permohonan pencabutan SK Walikota tentang pembekuan aktivitas, pengaduan Pengurus Gereja Isa Almasih Ngentak, Seyegan, Sleman yang kesulitan mengurus IMB pembangunan rumah ibadah, kemudian pengaduan kelompok persekutuan doa di Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang yang dituding sebagai ajaran sesat.
“Ada juga aduan dari jemaat Gereja Kristen Protestan Maluku Tenggara yang diintimidasi terkait pembangunan rumah ibadah oleh aparat desa dan pengabaian perlindungan oleh aparat kepolisian serta terakhir aduan dari karyawan STAIN Kediri yang diancam akan diberhentikan jika tidak melakukan shalat bersama di mushola kantor,” tuturnya.
Data tersebut menurutnya perlu ditafsirkan dalam arti terdapat kecenderungan dari korban pelanggaran hak atas KBB yang tidak lagi melaporkan kasus-kasusnya ke Komnas HAM dengan beragam pertimbangan.
Meski terjadi penurunan pengaduan terhadap tindak pelanggaran hak atas KBB, Komnas HAM tetap memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat untuk terus meningkatkan program penguatan pemahaman dan komitmen HAM bagi aparatur pemerintah di tingkat lokal. Sekaligus menjadikan hak atas KBB sebagai salah satu indikator penilaian keberhasilan penyelengaraan pelayanan publik di Indonesia.
“Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk mengefektifkan kewenangan terkait masalah agama, terutama dalam membantu pemerintah daerah menyelesaikan permasalahan KBB di indonesia. Khusus untuk Kementerian Dalam Negeri, kami mendesak perlu komunikasi intensid dengan pemerintah daerah agar dalam mengambil kebijakan di daerah menggunakan parameter perlindungan hak atas KBB. Minimnya penggunaan parameter mengakibatkan banyak daerah yang diskriminatif,” tuturnya.
Pihaknya juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian Agama untuk mengintensifkan dialog dan penyuluhan tentang toleransi dan hak atas KBB kepada umat beragama. Hal ini dirasa sangat penting guna meningkatkan keterbukaan dan penghormatan umat beragama terhadap hak beragama kelompok minoritas.
“Pemerintah daerah juga kami minta untuk lebih meningkatkan dialog tentang hak atas KBB di kalangan aparatur pemerintah daerah guna meningkatkan penghormatan hak setiap warga negara, sekaligus meningkatkan pelayanan publik nondiskriminatif. Selain itu juga menjadikan hak atas KBB dalam penyelenggaraan pelayanan publik,” pungkasnya.