Kabar24.com, PADANG - Penyalahgunaan wewenang menjadi pemicu terjadinya sengketa tanah ulayat di wilayah Sumatra Barat.
Demikian disampaikan Kurniawan, akademisi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat.
Ia mengungkapkan, sengketa tanah ulayat yang kerap terjadi di daerah ini pada umumnya terjadi akibat penyalahgunaan pengelolaan yang tidak sesuai dengan kedudukannya.
Misalnya tanah ulayat milik kaum atau suku seharusnya berkedudukan sebagai kekayaan suku bukan kekayaan pribadi penghulu, kata dia di Padang, Selasa (18/4/2017).
Ia menyampaikan hal itu pada diseminasi hasil penelitian "Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Investasi Ditinjau Dari Sisi Hukum di Sumbar" kerja sama Fakultas Hukum Unand dengan Kantor perwakilan Bank Indonesia Sumbar.
Ia memaparkan berdasarkan penelitian yang dilakukan pemicu sengketa tanah ulayat kaum kerap dijumpai tidak digunakan untuk kepentingan kaum tersebut.
Baca Juga
Malah ada yang dijual oleh mamak, anak pisang, hingga diubah pemanfaatannya oleh pemerintah, ujar dia.
Kemudian penyalahgunaan tanah ulayat pada tingkat nagari terjadi karena tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan nagari seperti dijual oleh Kerapatan Adat Nagari selaku lembaga adat dan pemerintahan nagari.
Lebih lanjut ia memaparkan sengketa pemanfaatan tanah ulayat di Sumbar terbagi dalam dua bentuk yaitu wanprestasi berupa perusahaan pengelola ingkar janji, kebun plasma tidak mempekerjakan tenaga lokal, serta tidak ada dokumen yang dipedomani dalam menyelesaikan sengketa.
Berikutnya juga ada sengketa karena perbuatan melawan hukum seperti perusahaan membangun kebun melebihi tanah yang diserahkan hingga pembangunan kebun menuntut akses.
Ia menilai konflik tanah ulayat tidak muncul secara tiba-tiba dan pasti ada akar masalahnya yang pada umumnya karena penyalahgunaan pengelolaan.
Akibat banyaknnya konflik tersebut akhirnya disebut sebagai penghambat utama investasi di Sumbar, kata dia.
Ia menyarankan, ke depan untuk meminimalkan konflik tanah ulayat jika itu sengketa dengan pihak luar maka para pihak harus duduk bersama menyepakati yang terbaik.
Tidak harus ke pengadilan karena hanya akan menghasilkan siapa yang menang dan kalah, kalau duduk bersama maka terbuka peluang kedua pihak mendapatkan keuntungan yang bisa dirumuskan bersama, ujarnya.
Kemudian ia memandang perlu sosialisasi alternatif pemanfaatan tanah ulayat dengan beragam pola pemanfaatan agar lebih adil.
Tidak hanya itu, untuk mencegah terjadi sengketa juga perlu dibuat buku tanah nagari yang merupakan bukti administrasi kepemilikan tanah untuk memberikan kepastian hukum atas tanah ulayat, katanya.
Kurniawarman menjelaskan tanah ulayat pada prinsipnya dapat menjadi objek investasi dan berdasarkan temuan lapangan yang banyak tersedia adalah tanah ulayat nagari.
Tanah ulayat nagari pemiliknya adalah seluruh anak nagari dan kedudukannya secara hukum didelegasikan kepada pemerintah nagari serta lembaga adat yaitu Kerapatan Adat Nagari.
Secara umum tanah ulayat di Sumbar digunakan untuk usaha perkebunan, pertambangan dan perumahan.
Sementara Dekan Fakultas Hukum Unand Prof Zainul Daulay mengatakan dalam menanamkan modal investor butuh kepastian. Tanah ulayat sebenarnya tidak akan jadi kendala jika statusnya jelas dan tepat pemanfaatannya.
Kepala perwakilan BI Sumbar Puji Atmoko memandang perlu dilakukan sosialisasi lebih intensif tentang tanah ulayat agar tidak terjadi sengketa sehingga investasi lebih kondusif guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Sebenarnya selama ini tidak ada persoalan, yang perlu diperbaiki adalah teknis di lapangan seperti lokasi, luas, dan hak guna lahan," kata dia.