Bisnis.com, JAKARTA—Perselisihan antara China dan AS berpeluang memukul bisnis perusahaan pelayaran terbesar di dunia, yakni A.P. Moller Maersk A/S.
Pasalnya, Maersk adalah salah satu penguasa rute pengiriman logistik dari Asia menuju Eropa dan AS.
Selama ini pula, perusahaan asal Denmark ini telah menggantungkan pendapatan terbesarnya dari perdagangan ketiga benua tersebut.
Kebijakan proteksi perdagangan AS kepada China, yang berpeluang memunculkan serangan balasan berupa pemboikotan produk Paman Sam oleh Negeri Panda. Berpotensi mereduksi aktivitas pengiriman barang dari Asia dan AS.
Analis Goldman Sachs memperkirakan, jika Trump resmi memberlakukan kenaikan tarif masuk produk dari China hingga 10%. Maka ekspor Beijing ke Washington akan turun 25%. Fenomena itu bisa mengikis pertumbuhan ekonomi China sebanyak 1%.
“Proteksionisme memberikan pengaruh yang sangat buruk untuk bisnis pengiriman barang dunia, dan kondisi itu berpeluang menjadi fenomena global,” kata Peter Sand, Kepala Analis di BIMCO, organisasi pengiriman terbesar di dunia, seperti dikutip dari Bloomberg, kamis (9/2/2017).
Sand menyebutkan, sejumlah hambatan perdagangan baru telah muncul selama beberapa tahun terakhir. Dia mencatat sejak 2008, 3.000 hambatan dagang baru telah muncul. Namun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) hingga akhir tahun lalu hanya berhasil menghapus 740 hambatan tersebut.
Sejumlah halangan tersebut berpeluang membuat bisnis pengiriman Maersk kembali terpuruk tahun ini. Adapun, Maersk saat ini sedang berusaha memisahkan bisnis sektor energinya dari bisnis pelayaran kargo.
Pada Rabu, (8/2/2017) saham perusahaan mengalami penuruan drastis lantaran laporan keuangan untuk periode 2016 mencatatkan rugi. Hasil tersebut berbeda dari perkiraan para analis yang memprediksi Maersk akan meraih untung pada tahun lalu.
Selain itu proyeksi perusahaan untuk 2017 juga dinilai mengecewakan oleh para investor. Adapun pada tahun ini Maersk menargetkan kenaikan aktivitas perkapalan akan mencapai 2%-4%, sehingga akan meningkatkan kenaikan laba hingga US$1 miliar.