Kabar24.com, JAKARTA - Dua bulan menjelang pemungutan suara Pilkada serentak rupanya tak menyurutkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut kasus korupsi di sejumlah daerah.
Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum jika ada keterkaitan antara tindak pidana korupsi dengan sistem politik di Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia) Arif Susanto bahkan menyebut ada lima problem besar dalam rezim Pilkada. Lima problem tersebut yaitu pertama, adanya politik identitas. Identitas primordial, kata Arif, kerap dimanfaatkan untuk menghasilkan dukungan emosional.
Pengumpulan dukungan emosional kepada calon kepala daerah kerap dilakukan dengan menyebarkan agitasi. “Hasilnya penguatan dukungan emosional diikuti oleh pelemahan integrasi sosial,” ujar Arif, Selasa (3/1/2017).
Lebih lanjut, agar masalah pilkada tidak menjadi rawan, perlu dikembangkan wacana politik yang lebih rasional serta dialog antarkelompok.
Menurutnya, saat ini dialog adalah proses yang tak pernah lagi dilakukan. “Selama ini yang ada adalah kontestasi. Tidak ada dialog. Aspek demokrasi ditinggalkan,” ucap dia.
Kedua, adalah adanya politik dinasti. Pengaruh politik dimanfaatkan untuk menjadi akses pemusatan ekonomi. "Konsekuensinya di daerah tertentu berkembang raja-raja kecil sehingga membuat adanya jual-beli pengaruh,”katanya.
Ketiga, adalah adanya korupsi politik. Arif menilai ada persoalan serius soal oligarkisme di tubuh partai politik di Indonesia. Oligarkisme membuat para politikus harus menyediakan donasi politik besar agar diakomodasi. Di sisi lain, komunikasi politik antara elite dengan masyarakat tidak terbangun dengan baik.
Para kandidat dan partai politik lantas berusaha memompa popularitas dan elektabilitas lewat berbagai aktivitas yang berbiaya mahal. “Keduanya menyebabkan korupsi politik,” ujar Arif.
Keempat, kaburnya polarisasi politik. Pragmatisme politik demi mendapatkan kekuasaan telah melunturkan ideologi politik partai politik. Hal itu akan berdampak rentannya konflik politik dan sulitnya identifikasi afiliasi politik oleh massa.
Menurutnya, partai politik perlu mengembangkan mode koalisi ideologis yang lebih permanen. Selain itu, partai politik juga perlu mengajukan platform kerja yang memudahkan identifikasi oleh pemilih.
Kelima, adalah rendahnya literasi politik. Dia memandang jika pendidikan politik adalah aspek yang diabaikan dalam pembaruan politik masa kini.
Rendahnya literasi politik telah dimanfaatkan oleh kalangan elite memperdaya pemilih. Akibatnya, prosedur demokrasi gagal melahirkan pemimpin yang legitimate, tidak mampu memproduksi wacana politik yang cerdas, dan mempertajam konflik.
Dia pun lantas mengimbau agar KPU tak hanya mengurus administrasi calon-calon kepala daerah, namun juga mengawal agar rakyat bisa menetapkan pada pilihan yang terbaik.