Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha diminta memperkuat bukti yang meyakinkan untuk menjerat PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor dalam kasus kartel. Pasalnya, bukti surat elektronik (surel) yang dimiliki KPPU dinilai sangat lemah.
Kedua produsen sepeda motor tersebut dituduh melakukan kesepakatan menaikkan harga pada produk skuter matik 110 cc-125cc. Kesepakatan itu melanggar UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Saksi ahli sekaligus Ekonom Universitas Indonesia Ine Minara Ruky mengatakan bukti surel belum bisa menjadi alat untuk menjerat perusahaan melakukan kartel. Apalagi, e-mail tersebut hanya sepihak dari satu perusahaan. Artinya, surel penetapan harga belum dikomunikasikan dengan pihak lain, serta belum ada timbal baliknya.
Surat elektronik ini mengacu pada perintah Presdir Yamaha kepada Vice President Yamaha untuk mengikuti kenaikan harga Honda. Yamaha beranggapan kualitas produk perusahaan tidak jauh berbeda dengan kompetitor. Namun harga produk Yamaha berada di bawah Honda.
“KPPU boleh saja curiga dengan bukti email tersebut. Tapi informasi sepihak itu sangat lemah untuk menjadi bukti komunikasi, harus cari bukti yang lebih kuat,” katanya kepada Bisnis seusai persidangan, Kamis (22/12/2016).
Saksi Ahli yang diajukan oleh PT AHM selaku terlapor II ini berpendapat, persamaan harga antara satu pelaku usaha dan yang lain sah-sah dilakukan dalam pasar oligopoli.
Persamaan harga tersebut merupakan konsekuensi atau aksi reaksi yang dialkukan pelaku usaha yang saling bersaing. Sehingga perilaku tersebut menghasilakan output harga yang paralel atau conscious parallelism.
Menurutnya, conscious pararelism pada oligopoli belum tentu membuktikan adanya kartel. KPPU, lanjut dia, harus menggunakan metode-metode khusus untuk membuktikan conscious paralellism tersebut ilegal atau tidak.
Adapun pembuktiannya dapat dilihat apakah ada keuntungan berlebih yang dinikmati pelaku usaha atau apakah ada pengurangan output produk secara bersama.
“Saya tidak menyalahkan KPPU jika curiga terhadap para terlapor yang menjadi pemimpin pasar otomotif. Namun bukti KPPU harus benar sesuai standard approve persaingan usaha,” tuturnya.
Ine berujar, tingginya harga pada suatu produk juga tidak dapat diidentifikasikan dengan kartel. Menurutnya, produsen wajar meningkatkan harga ketika ada kesempatan situasional, misalnya lebaran atau natal. Menurutnya, kenaikan tersebut telah melalui riset perilaku dan permintaan konsumen akan suatu produk tertentu.
Investigator KPPU Helmi Nurjamil mengatakan pihaknya tidak hanya memiliki satu bukti berupa surel. Dia akan membuktikan bahwa Yamaha dan Honda melakukan kesepakatan harga yang ilegal. Menurtnya, tindakan kedua produsen motor tersebut tidak dapat dibenarkan.
Dia setuju dengan konsep conscious parallelism yang diungkapkan oleh saksi ahli. Namun dia tidak membenarkan langkah Yamaha yang hanya menyesuaikan harga dengan harga Honda.
“Kalau mau harga sejajar, kenapa tidak menyesuaikan dengan harga pasar saja. Kenapa harus menyesuaikan harga dengan satu perusahaan kompetitor,” ucapnya usai sidang.
Helmi berujar, pelaku usaha lain seperti Suzuki dan TVS menaikan harga secara independen. Mereka tidak bergantung dengan harga kompetitor.