Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lembaga Survei Harus Diakreditasi, Hindari Penyesatan Opini

Pengaturan lembaga survei terkait pemilu seharusnya memasukkan persyaratan akreditasi guna mencegah adanya penyesatan opini oleh lembaga survei abal-abal.
  Perbandingan hasil quick count Pilpres 2014 dari berbagai lembaga survei. /Bisnis
Perbandingan hasil quick count Pilpres 2014 dari berbagai lembaga survei. /Bisnis

Kabar24.com, JAKARTA—Pengaturan lembaga survei terkait pemilu seharusnya memasukkan persyaratan akreditasi guna mencegah adanya penyesatan opini oleh lembaga survei abal-abal.
 
Demikian dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Reza Patria dalam sebuah diskusi bertajuk “Menguji Integritas Lembaga Survei Menjelang Pilkada” di Gedung DPR hari ini, Kamis (6/10/2016). Turut jadi pembicara pada diksui itu peneliti LIPI Siti Zuhro dan peneliti CSIS Philip Vermonte.
 
Menurutnya, pentingnya akreditasi untuk lembaga survei sebagaimana dilakukan untuk perguruan tinggi akan menghindari industrialisasi demokrasi.

Industrialisasi demokrasi, ujarnya, telah menggiring lembaga survei untuk bertindak komersial sehingga dibayar untuk mempengaruhi opini publik.

Padahal, ujarnya, lembaga survei seharusnya memiliki integritas sehingga tidak tergoda untuk menjadi konsultan politik maupun tim sukses seorang kandidat kepala daerah.
 
“Lembaga survei harus diatur. Perlu akreditasi seperti di pergruan tinggi,” ujarnya, Kamis (6/10/2016).
 
Dia mengatakan bahwa lembaga yang mau dibayar untuk menentukan hasil survei sesuai pesanan, kemudian disebarluaskan demi mempengaruhi persepsi dan opini calon pemilih perlu dicurigai.
 
Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan bahwa sejak era reformasi banyak lembaga survei bermunculan dan sebagai berorientasi materi alias pesanan tanpa integritas.
 
Sebagai contoh pada Pilkada Jakarta 2012 silam, hampir semua lembaga survei menyebutkan bahwa salah satu kandidat akan bisa memenangkan pilkkada DKI Jakarta sekali putaran.

Namun ketika diminta bagaimana rasionalitas dan alasan sekali putaran lembaga survei tersebut tidak bisa menjelaskan.

Pada akhirnya Pilkada DKI Jakarta benar dua kali putaran dan lembaga survei tersebut tetap tidak bisa menjelaskan secara terbuka bagaimana metode yang digunakan sehingga hasilnya jauh berbeda tersebut.

“Saya minta lembaga survei istigfar (introspeksi),” ujar profesor peneliti tersebut.

Namun demikian, Siti menyebutkan bahwa publik kini semakin pandai dan punya banyak pembanding.

Dengan sendirinya publik akan mengkritisi hasil survei dengan mencari second opinion.
 
Philip Vermonte dari Departemen Politik dan Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) menekankan pentingnya akurasi data dalam proses survei. Akurasinya harus terjaga dari hulu sampai hilir.

"Mulai dari sampling frame, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, quality control, tabulasi data dan analisanya. Prosesnya harus dijaga agar tetap akurat," ujarnya.
 
Menurutnya, jika ada satu tahapan dalam proses tersebut tidak akurat maka akan mempengaruhi hasil karena proses tersebut merupakan satu kesatuan.

Untuk itu, dia meminta agar KPU meminta data mentah dari lembaga survei sehingga tidak begitu saja menerima hasil survei tersebut.

Menurut Arya, survei adalah bisnis kepercayaan yang dilakukan dalam jangka panjang.

“Jika ada yang bermain-main dengan data, lama-kelamaan lembaga survei itu akan kehilangan kepercayaan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper