Bisnis.com, JAKARTA - Bisa jadi Pilkada DKI 2017 merupakan cerminan kegagalan kaderisasi partai politik untuk membentuk regenerasi calon pemimpin daerah.
Mengacu pada pasal 29 ayat 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang fungsi partai politik yang berbunyi, “Partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.”
Wajar jika keberadaan partai politik kali ini tidak berjalan sebagaimana fungsinya. Pasalnya, dalam Pilkada DKI 2017, hanya ada satu orang dari tiga kandidat pasangan calon Gubenur dan Wakil Gubenur, yang merupakan kader partai yakni Djarot Saiful Hidayat dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, contohnya, meskipun maju sebagai calon yang diusung oleh PDI Perjuangan, tetapi dari pengamatan Bisnis, dirinnya tak pernah menyebutkan dia adalah kader PDI Perjuangan.
Sosok lain yang bukan kader partai politik adalah Anies Baswedan yang berlatarbelakang sebagai praktisi pendidikan/ akademisi, Sandiaga Uno merupakan seorang pengusaha, dan Syliana Murni merupakan birokrat karier yang telah menduduki sejumlah jabatan strategis di antaranya Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, dan terakhir Deputi Gubernur bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Adapun Agus Harimurti Yudhoyono, meskipun merupakan putra sulung ketua partai, tetapi untuk pengalaman di partai politik, dirinya kurang berpengalaman jika dibandingkan dengan adiknya Edhie Baskoro Yudhoyono.
Pengamat politik, yang juga merupkan dosen dari Universitas Indonesia, Vishnu Juwono membenarkan Pilkada kali ini adalah cerminan kegagalan partai politik dalam membentuk kader yang layak memimpin bangsa.
“Iya, memang. Pilkada ini menunjukkan terjadi krisis pemimpin di partai politik. Karena untuk Pilkada sebesar ini dimana tingkat atraktif-nya tingkat nasional toh partai-partai politik ini memilih kader di luar [parpol]. Nah ini bagaimana proses pengkaderan partai itu sendiri terutama di partai-partai besar? Mengapa pada akhirnya harus memilih kandidat di luar partai,” papar Vishnu usai menghadiri diskusi di kawasan SCBD, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2016).
“Memang untuk saat ini proses pengkaderan partai bisa dibilang gagal,” tambahnya menegaskan.
Kendati demikian, meski membenarkan adanya kegagalan fungsi partai politik, Vishnu tak menyangkal diusungnya calon dari luar partai merupkan manuver untuk merekrut kader baru.
“Tapi di sisi lain kita bisa melihat ini merupakan usaha dari partai politik besar untuk merekrut calon pemimpin masa datang, terutama karena tokoh-tokoh senior di partai politik besar seperti pak SBY dan ibu Megawati, pak Prabowo sadar pengaruh politik mereka hanya akan bisa sekitar 10 tahun lagi dan mereka butuh kader untuk proses regenarasi yang bisa dipercaya meneruskan legacy politik mereka di partai masing-masing,” paparnya.
Tidak menutup kemungkinan, lanjutnya, jika 10 hingga 15 tahun ke depan calon-calon tersebut akan merubah jalannya menjadi kader partai.
“Kan gak tahu gimana kader-kader non partai ini dalam perjalanan waktunya bisa direkrut ke partai politik, contohnya pak Ahok seperti yang kita ketahui pernah menjadi anggota Partai Gerindra, Partai Golkar. Jadi dalam politik semua kemungkinan bisa terjadi. Bahkan yang independen saat ini bisa berubah menjadi kader partai politik,” tutupnya.