Kabar24.com, JAKARTA - Hingga saat ini, Senin (19/9/2016), penangan kasus Gatot Brajamusti masih dalam proses penanganan polisi.
Sejumlah kasus menyeret Gatot Brajamusti, mulai dari kepemilikan senjata, dugaan penggunaan shabu, hingga munculnya dugaan pelecehan seksual.
Hingga kini, pihak yang mengaku sebagai korban pelecehan seksual oleh Gatot Brajamusti mencapai delapan orang.
Rhony Sapulette dari tim Elsa Syarif Law Office yang menjadi kuasa hukum para korban menyebutkan terdapat delapan korban yang meminta perlindungan hukum dari firma mereka.
"Ada usia 14 tahun, 16 tahun, 17-18 tahun. Masih muda semua dan masa depan mereka dihancurkan," kata Rhony.
Sebelumnya, salah satu korban bernama C sempat mengaku bahwa sebelum disetubuhi dia sempat dicekoki aspat atau asap nikmat yang belakangan diketahui sebagai shabu.
Selain dicekoki aspat, C melalui Sudharmono Saputra yang juga bagian dari tim kuasa hukum menyebutkan bahwa Gatot kerap mengaku sebagai malaikat Izrail yang bisa mencabut nyawa, jin jabir pimpinan negeri jin, atau titisan Nabi Sulaiman.
Para korban mendapat ancaman bahwa siapa saja bertindak macam-macam dengan Gatot akan berakhir naas. Dia bahkan mencontohkan bahwa pernah ada yang macam-macam, langsung tertabrak tronton dan tewas.
"Kan takut," katanya.
Lalu, apakah sesungguhnya yang membuat para korban ini percaya saja dengan klaim Gatot sebagai Nabi hingga malaikat pencabut nyawa?
Menurut psikolog Liza Djaprie, pengakuan sebagai malaikat atau jin tersebut merupakan bentuk sugesti psikologis dan pada umunya manusia hanya akan menerima sugesti yang dirasa cocok dengan dirinya.
Adapun pribadi penerima sugesti pada dasarnya memiliki dua sifat alami yakni rasa kasihan dan keinginan untuk mendapat hal yang lebih, tidak pernah puas atau ketamakan.
"Jadi kalau kita bisa dihipnotis antara dua itu, memiliki rasa kasihan yang tinggi atau tamak, tidak pernah cukup," katanya kepada Bisnis.com.
Menurutnya pribadi yang memiliki rasa kasihan yang besar atau sifat tidak pernah merasa cukup akan sangat gampang terdampak sugesti karena kurang bisa menyeimbangkan antara karakter kasihan atau tamak dengan logika.
"Karakter itu ibarat tombol panas, jika terpencet [penerima sugesti] langsung tidak melibatkan logika. Pokoknya asal ikut," katanya.
Menurut Liza, dalam kasus Gatot, secara logika para korban bisa mengetahui kalau Gatot bukanlah Tuhan atau malaikat yang bisa mencabut nyawa. Namun, adanya iming-iming ketenaran, seperti C yang dijadikan backing vocal Gatot, menjadi faktor yang menyebabkan terpencetnya tombol panas atau hot button tersebut.
"Secara logika tidak mungkin dia Tuhan, tetapi karena janji tenar jadi tidak memikirkan yang lain. Karena titik lemahnya itu tadi terpencet," kata Liza.
Lebih jauh, Liza mengatakan bahwa tantangan hidup yang semakin tinggi serta sikap individualis yang semakin kental menjadi faktor lain.
Menurutnya, saat ini manusia cenderung lebih menyendiri sehingga tidak memiliki tempat berbagi khususnya ketika menghadapi masalah berat.
"Kalau dulu berbagi, sekarang cenderung sendiri. Ketika ada beban hidup lari ke orang yang dianggap hebat dan bisa dijadikan pegangan," jelasnya.
Dihubungi secara terpisah, psikolog Sani B. Hermawan juga memiliki pendapat yang tidak jauh beda. Menurutnya pribadi atau orang yang rapuh secara mental membutuhkan figur yang karismatik sebagai penguat mental.
"Nah, jika Gatot dijadikan sebagai panutan, pemimpin, dan role model maka apapun yang dikatakannya akan dipercaya sekalipun tidak realistis," katanya.
Menurutnya, untuk menghindari hal ini, manusia perlu saling berbagi sehingga ada yang bisa mengingatkan sebelum terbawa lebih jauh.