Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Uni Eropa Gelar Climate Diplomacy Week

Uni Eropa bersama dengan Prancis, Jerman, Inggris, Denmark, Belanda dan Swedia menyelenggarakan Pekan Diplomasi Iklim (Climate Diplomacy Week).
Ilustrasi Climate Change/www.iop.harvard.edu
Ilustrasi Climate Change/www.iop.harvard.edu

Bisnis.com, JAKARTA—Uni Eropa bersama dengan Prancis, Jerman, Inggris, Denmark, Belanda dan Swedia menyelenggarakan Pekan Diplomasi Iklim (Climate Diplomacy Week).

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guérend mengungkapkan ini merupakan tindak lanjut dari kesuksesan KTT Perubahan Iklim di Paris (COP 21) dan menyambut KTT Perubahan Iklim di Marrakesh (COP 22). Climate Diplomacy Week tersebut akan terdiri dari serangkaian acara publik dan online yang mempromosikan bagaimana upaya memerangi perubahan iklim.

Tidak hanya itu Climate Diplomacy Week juga akan mengkomunikasikan tujuan upaya tersebut kepada masyarakat Indonesia,” jelasnya dalam Pembukaan Climate Diplomacy Week di Institut Prancis di Indonesia, Selasa (13/9/2016).

Uni Eropa berkomitmen penuh dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris dan kami ingin mendorong seluruh negara anggota G20 untuk melakukan hal yang sama. Kami juga senang Amerika Serikat dan Tiongkok, dua dari emiten global terbesar, telah meratifikasi perjanjian tersebut,” tegasnya.

Eropa, lanjutnya, telah memiliki sebuah kebijakan perubahan iklim yang komprehensif selama bertahun-tahun dan pihaknya sekarang sedang mengembangkan hukum yang akan mendukung pencapaian target ambisiusnya yakni tahun 2030.

Tindakan ini akan menguntungkan perekonomian, ekologi dan sosial. Kami berharap tantangan perubahan iklim ditangani dengan keseriusan penuh oleh rekan-rekan anggota G20, termasuk Indonesia. Kami berkomitmen untuk berbagi pengalaman dan kami mendukung Indonesia dalam upaya-upayanya. Sejalan dengan hal tersebut, proses ratifikasi Perjanjian Paris sedang berlangsung di Uni Eropa dan akan segera selesai sesegera mungkin,” katanya.

Dia menambahkan bahwa kita perlu melihat Perjanjian Paris bukan sebagai hasil melainkan sebagai awal menuju dunia yang sungguh-sungguh bebas-karbon sebagaimana yang disepakati negara-negara di bulan Desember. Kini kita perlu memanfaatkan momentum melalui ratifikasi dini dari Perjanjian Paris.

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim telah menjadi elemen penting dalam hubungan Uni Eropa dengan Indonesia. Deforestasi illegal, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan tidak hanya berdampak buruk pada iklim global, namun juga mengancam manusia dan ekosistem yang esensial bagi kehidupan manusia. Indonesia merupakan salah satu dari emiten gas rumah-kaca tertinggi di dunia dan telah menegaskan komitmennnya dalam menangani penyebab perubahan iklim pada konferensi iklim Paris (COP21) dengan berjanji mengurangi emisi sebesar 29% pada tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional.

Oleh karena itu, isu perubahan iklim menjadi sangat penting dalam prioritas kerjasama pembangunan Uni Eropa serta para Negara Anggotanya dengan Indonesia. Inisiatif Kemitraan NDC global akan mendukung negara-negara berkembang untuk menerapkan NDC dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) karena pembangunan berkelajutan dan tidakan iklim dianggap saling membantu upaya.

Uni Eropa mendukung Indonesia melalui sebuah program respon perubahan iklim untuk menciptakan rencana pembangunan yang rendah karbon. Upaya ini termasuk dukungan dalam pengembangan kebijakan perubahan iklim, legislasi, serta praktik institusi pemerintahan di Aceh dalam mencapai perencanaan rendah-emisi, serta memfasilitasi dialog kebijakan dan peraturan ramah lingkungan yang partisipatif.

Perubahan Iklim dan Lingkungan juga menjadi area perhatian bantuan Uni Eropa dengan ASEAN untuk 2014-2020 dengan fokus utama pada pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, mengingat emisi gas rumah-kaca lahan gambut ASEAN setara dengan akumulasi emisi dari Jerman, Inggris, dan Prancis. Selain itu, program EU SWITCH Asia juga mempromosikan konsumsi dan produksi yang berkelanjutan di Indonesia dengan fokus pada produksi bahan baku dan industri ramah lingkungan, efisiensi energi, serta bantuan dukungan kebijakan.

Inisiatif lain yang tidak kalah penting adalah Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Uni Eropa yang mempromosikan reformasi tata kelola kehutanan dan memerangi penebangan ilegal untuk mengendalikan perubahan iklim melalui pengelolaan sumber daya hutan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pada tahun 2002, jumlah kayu Indonesia yang legal hanya 20%.

Hari ini, lebih dari 90% ekspor kayu Indonesia berasal dari pabrik dan hutan yang diaudit secara independen. Melihat pencapaian tersebut, Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi negara pertama yang memiliki sistem verifikasi legalitas kayu nasional (SVLK) di dunia yang sesuai dengan FLEGT, dimana hal tersebut akan membuat Indonesia mampu mengekspor produk kayu ke Eropa melalui ‘jalur cepat’. Kondisi ini merupakan cerminan dari komitmen Indonesia dalam meningkatkan tata kelola hutan dan upaya memerangi perubahan iklim.

Sebagai bagian dari Climate Diplomacy Week, Uni Eropa juga turut berpartisipasi pada Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) pada 17 September dengan menampilkan booth Uni Eropa yang menyajikan informasi-informasi tentang perubahan iklim dan pendidikan. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi: http://www.fpcindonesia.org/programs/cifp-2016/.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Atiqa Hanum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper