Kabar24.com, YANGON - Pelanggaran HAM dan kekerasan yang dilakukan penganut Buddha terhadap Muslim Rohingnya menjadi beban tersendiri bagi Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.
Terkait itu, Suu Kyi memilih mantan sekretaris jenderal PBB Kofi Annan, Rabu (24/8/2016), memimpin komisi untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi Rakhine, tempat kekerasan penganut Buddha dengan Muslim Rohingya menyelubungi reformasi demokrasi.
Lebih dari 100 orang tewas dalam kekerasan di provinsi barat laut itu pada 2012 dan sekitar 125 ribu Muslim Rohingya, yang tidak memiliki kewarganegaraan, mengungsi di kampung darurat dengan pergerakan sangat dibatasi.
Ribuan orang menghindari penganiayaan dan kemiskinan dalam eksodus menggunakan kapal menuju negara tetangga di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
"Pemerintah Myanmar ingin menemukan solusi berkelanjutan atas masalah rumit di Provinsi Rakhine, itulah sebabnya pemerintah membentuk komisi penasihat," kata pemerintah dalam pernyataan yang dikeluarkan kantor Suu Kyi.
Sementara Suu Kyi secara perlahan mengarah ke perannya sebagai kepala negara "de facto", mantan presiden Thein Sein - yang memantau tahap awal Myanmar kembali terbuka sejak 2011- digantikan dari pucuk kepemimpinan partainya, yang didukung militer, yang memimpin Myanmar hingga pemilihan umum pada November.
Suu Kyi dilarang menjabat sebagai presiden berdasarkan undang-undang dasar, namun ia memimpin Myanmar sebagai Penasihat Negara dan Menteri Luar Negeri.
Komisi Rakhine akan meliputi sembilan anggota independen, termasuk enam warga negara Myanmar dan tiga warga asing, kata pernyataan dari kantor Suu Kyi.
Komisi tersebut, yang juga memasukkan anggota dari masyarakat Muslim dan suku Rakhine, akan fokus pada pencegahan konflik, mendukung bantuan kemanusiaan, rekonsiliasi nasional, pembangunan dan hak asasi manusia di Rakhine, demikian pernyataan tersebut.
Laporannya akan disiarkan setahun setelah pembentukan komisi itu.
Kofi Annan adalah pendahulu Ban Ki-moon sebagai sekjen PBB pada 1997-2006. Ia bersama PBB meraih Nobel Perdamaian pada 2001.
Ban akan mengunjungi Myanmar pada akhir Agustus. Suu Kyi akan mengunjungi AS pada September, dan diperkirakan akan berpidato di Majelis Umum PBB.
Thein Sein mundur sebagai pemimpin Partai Solidaritas Kesatuan dan Pembangunan (USDP), sementara Suu Kyi memperdalam tekadnya sebagai pemimpin Myanmar.
Ia digantikan oleh Than Htay, mantan jenderal, yang menjabat menteri energi dan perkeretaapian pada masa Thein Sein. Than Htay dinilai dekat dengan Than Shwe, yang memimpin hampir setengah abad sejak kudeta pada 1962.