Bisnis.com, JAKARTA - Upaya hukum yang dilakukan sejumlah eks karyawan PT Rockit Aldeway (dalam pailit) dalam menuntut haknya dari dua kreditur separatis harus kandas di tengah jalan. Pasalnya majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut.
Dalam sidang putusan yang diketuai hakim Sinung Hermawan menilai eksekusi yang dilakukan dua kreditur separatis Rockit, yaitu PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Ekonomi Raharja tidak melanggar hukum atau sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Hal itu berdasarkan Pasal 56, 57, dan 58 Undang-Undang (UU) No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, kreditur separatis memang memiliki hak untuk mengeksekusi aset. Adapun pengeksekusian itu harus dilakukan dalam jangka waktu dua bulan sejak masa insolvensi.
Meskipun demikan, majelis mengakui bahwa para eks karyawan merupakan kreditur preferen. Sesuai dengan Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan menyatakan para karyawan merupakan kreditur prefen yang status tagihannya bersifat didahulukan khususnya atas upah yang tertunggak.
"Dengan demikian, dalam pokok perkara menerima sebagian gugatan penggugat dan menyatakan eksekusi yang dilakukan para tergugat tidak melanggar hukum," ujar Sinung dalam amar putusannya, Selasa (31/5/2016).
Dengan adanya putusan ini, majelis menilai kedua bank tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membayar atau melakukan pembagaian kepada para kreditur, dalam hal ini adalah eks karyawan. Adapun hal itu merupakan tugas dari kurator.
Apalagi tagihan dari para eks karyawan telah diakui oleh kurator. "Dengan begitu, tidak menjadi alasan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan lain-lain sepanjang tagihannya diakui," tambah Sinung.
Menanggapi hal tersebut baik pihak Bank Mandiri dan Bank Ekonomi menghormati putusan hakim. "Sudah sesuai fakta hukum yang ada karena memang hak eksekusi yang kita lakukan itu dijamin oleh UU," ungkap kuasa hukum Bank Mandiri Budi Rahmad kepada Bisnis.
Sementara itu baik perwakilan eks karyawan di Pengadilan maupun kuasa hukumnya Riza Fauzi Rahman enggan memberikan komentar.
Seperti diketahui, gugatan ini dilayangkan para eks karyawan lantaran lelang eksekusi yang dilakukan tergugat I Bank Mandiri dan tergugat II dan Bank Ekonomi adalah cacat hukum.
Pasalnya, pelaksanaan eksekusi sendiri yang dilakukan para tergugat tidak memberikan keadilan bagi seluruh kreditur. Sehingga, proses pembayaran yang adil tidak akan terlaksana apabila kedua bank tersebut melaksanakan eksekusi sendiri.
Berdasarkan berkas gugatan, pelaksanaan lelang eksekusi yang dilakukan oleh tergugat I dan II tidak memenuhi syarat formal. Pelelangan dilakukan tanpa adanya penetapan hakim pengawas terkait masa insolvensi.
Padahal, peraturan Dirjen Kekayaan Negara No. 6/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang menyatakan bahwa penetapan insolvensi merupakan syarat khusus yang wajib dipenuhi oleh kreditur separatis.
Perkara tersebut terdaftar dengan No. 4/Pdt.Sus/Gugatan Lain-lain/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. Adapun, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang III serta IV ditambah tim kurator menjadi turut tergugat.
Awalnya, Rockit dinyatakan dalam kondisi pailit setelah rencana perdamaian yang diajukan selama proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) tidak diterima. Putusan tersebut dibacakan oleh majelis hakim sejak 11 Februari 2016.
Dengan begitu, eks karyawan mengklaim menjadi kreditur preferen bagi debitur dan mempunyai sejumlah tagihan. Kreditur tersebut mempunyai keistimewaan bahwa haknya didahulukan dibandingkan dengan kreditur separatis maupun konkuren.
Hal ini sesuai Pasal 95 ayat 4 Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yakni dalam hal perusahaan dinyatakan pailit, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Adpaun Tergugat I dan II merupakan kreditur separatis yang memiliki hak jaminan kebendaan atas utang debitur pailit. Para tergugat melaksanakan lelang atas boedel pailit berupa 12 tanah dan bangunan pada 6 serta 12 April 2016.
Dalam proses restrukturisasi utang, total tagihan debitur mencapai Rp1,89 triliun dari 20 kreditur. Adapun, tagihan terbesar berasal dari Trilium Global Pte. Ltd dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dengan masing-masing mencapai Rp1,02 triliun dan Rp250,13 miliar.