Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengimbau konsultan kekayaan intelektual tidak perlu khawatir dengan berlakunya Protokol Madrid ke dalam Rancangan Undang-undang Merek yang baru.
Pasalnya, jasa konsultan kekayaan intelektual masih tetap dibutuhkan dalam permohonan merek dan kasus-kasus terkait merek setelahnya. Sebelumnya, konsultan KI merasa ketar-ketir jika usahanya tidak akan laku apabila Indonesia akhirnya mengadaptasi Protokol Madrid..
Dengan pengaplikasian protokol Madrid, pendaftar merek yang ingin mendaftarkan mereknya ke luar negeri hanya perlu mendaftar melalui World Intelectual Property Organization (WIPO). Lembaga tersebut yang bertugas meneruskan pendaftaran kepada lembaga pendaftaran merek di masing-masing negara tujuan.
Penerapan Protokol Madrid membuat pemilik merek asing tidak perlu mendaftarkan mereknya di Indonesia . Protokol Madrid diklaim memudahkan pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya dan menekan biaya
Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Fathlurrahman mengatakan pihaknya telah beberapa kali menggelar pertemuan dengan konsultan kekayaan intelektual.
“Awalnya mereka [konsultan KI] memang khawatir dan takut pendapatannya terancam. Namun itu hanya awalnya saja. Sekarang sudah paham semua dan menerima,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Menurutnya, jasa konsultasi kekayaan intelektual tetap akan berjalan stabil apabila Protokol Madrid telah berjalan di Indonesia kurang lebih setengah tahun. Lagipula, para konsultan KI masih bisa memperoleh pendapatan lainnya dari berbagai kasus yang mereka tangani.
Sengketa merek atau pun proses pendaftaran merek, lanjutnya, membutuhkan beberapa konsultasi dari pihak ahli. Oleh karena itu, konsultan KI diminta tidak khawatir dengan berlakunya Protokol Madrid.
Aturan tersebut telah berlaku mulus di 113 negara dengan presentase cakupan perdangangan sebanyak 80%. Adapun negara di Asean yang sudah meratifikasi Protokol Madrid yaitu Kamboja, Filipina, Singapura, Myanmar dan Laos.
Sebelumnya, Konsultan Merek Sigit Nugraha memandang aplikasi sistem tersebut berisiko merugikan kalangan konsumen dalam negeri. Pasalnya, pemilik merek asing kebanyakan menggunakan jasa konsultan lokal untuk mendaftarkan mereknya melalui Direktorat Merek.