Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramai Soal LGBT, Komnas Perempuan Minta Pejabat Publik Tak Picu Diskriminasi

Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan meminta pejabat publik untuk bersikap lebih adil, serta tidak menstigma warga negara dengan mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu kekerasan dan diskriminasi.
Komnas Perempuan/komnasperempuan.or.id
Komnas Perempuan/komnasperempuan.or.id

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan meminta pejabat publik untuk bersikap lebih adil, serta tidak menstigma warga negara dengan mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu kekerasan dan diskriminasi.

Budi Wahyuni, Wakil Ketua Komnas Perempuan, mengatakan pihaknya menentang segala bentuk diskriminasi yang memicu kekerasan, termasuk kepada kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

"Kami mendorong agar pejabat publik bersikap lebih adil dan tidak mudah menstigma warga negara atas dasar apapun, termasuk hindari mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu kekerasan atau diskriminasi," katanya di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Seperti diketahui, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengeluarkan pernyataan kaum LGBT tidak boleh masuk kampus, yang kemudian diklarifikasi dengan mengatakan larangan itu ditujukan hanya untuk kegiatan seksual, seperti bercumbu dan hubungan seks di kampus.

Budi menuturkan pihaknya mencatat ada 37 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dialami oleh kelompok LGBT pada 2014. Dari 21 kasus tersebut termasuk ke dalam relasi sosial atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), dan 15 kasus sisanya terjadi di ranah komunitas.

Menurutnya, publik harus lebih banyak mendengar mengenai berbagai persoalan diskriminasi dan kekerasan yang dialami LGBT. Komnas Perempuan sendiri mencatat berbagai jenis kekerasan yang kerap dialami kelompok tersebut, seperti pemerkosaan untuk mengoreksi, pemaksaan perkawinan, pengusiran, diskriminasi, dan kriminalisasi.

"Kaum LGBT kerap mendapatkan pengusiran oleh keluarga dan komunitasnya, diskriminasi dan bullying di lembaga pendidikan yang berakibat terhentinya akses pendidikan, kriminalisasi, dan diskriminasi layanan publik, serta akses keadilan," ujarnya.

Budi menilai dunia akademik juga harus merawat budaya intelektual yang melindungi minoritas, dan kelompok rentan diskriminasi dalam bentuk apapun. Dunia akademik juga perlu terlibat dalam mendorong negara, terutama pejabat publik untuk memahami dan menjalankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper