Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Presiden China & Presiden Taiwan Berjabat Tangan di Singapura

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying Jeou, Sabtu, berjabat tangan dan tersenyum lebar saat membuka sebuah pertemuan keluarga bersejarah dan yang pertama kali sejak kedua belah pihak terpisah sebagai dampak dari perang sipil pada 1949.
Presiden China Xi Jinping memeriksa pasukan militer saat memperingati 70 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua, di Beijing, China (3/9/2015)./Reuters-Damir Sagol
Presiden China Xi Jinping memeriksa pasukan militer saat memperingati 70 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua, di Beijing, China (3/9/2015)./Reuters-Damir Sagol

Bisnis.com, SINGAPURA--Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying Jeou, Sabtu, berjabat tangan dan tersenyum lebar saat membuka sebuah "pertemuan keluarga" bersejarah dan yang pertama kali sejak kedua belah pihak terpisah sebagai dampak dari perang sipil pada 1949.

"Tidak ada kekuatan yang dapat memisahkan kita," kata Xi kepada Ma mengawali pertemuan mereka selama satu jam di Singapura. "Kami satu keluarga."

Ma menanggapi ucapan Xi bahwa dengan mengatakan kedua belah pihak harus saling menghormati setelah dalam beberapa dasa warsa saling bermusuhan dan bersaing, secara terbuka mereka menyatakan tekad "menjaga perdamaian di Selat Taiwan" yang memisahkan mereka.

"Meskipun ini pertemuan pertama, kami merasa seperti bertemu kawan lama. Di belakang kita ada sejarah ketegangan selama 60 tahun. Sekarang di depan mata kita ada buah konsiliasi, bukan konfrontasi," kata Ma, layaknya dikutip Reuters.

Pertemuan sepasang karib tersebut dibuka dengan jabat tangan yang lama, berseri-seri, dan melambai kepada kerumunan awak media.

Tidak ada kesepakatan atau pernyataan bersama yang biasanya diharapkan dalam pertemuan kedua belah pihak yang masih menolak untuk mengakui legitimasi masing-masing dan pertemuan penting tersebut tetap harus diperhatikan.

Namun, pertemuan tersebut dapat membalikkan sejarah lantaran pada 1945 pemimpin revolusi Tiongkok Mao Zedong bertemu Presiden Nasionalis Tiongkok Chiang Kai-shek gagal melakukan upaya rekonsiliasi.

Kemudian pengambilalihan paksa Komunis terhadap pasukan Chiang dan sekitar dua juta pengikut Chiang melarikan diri ke Taiwan, pulau kecil yang kemudian menjadi provinsi.

Kebuntuan yang terjadi selama beberapa dekade di Selat Taiwan dan di antara mereka menjadi salah satu yang tersisa di berakhirnya era Perang Dingin. 

Selama bertahun-tahun, pragmatisme ekonomi Tiongkok mengizinkan terjalinnya hubungan bisnis dan investasi lintas selat, meskipun secara resmi bermusuhan.

Sejak Ma menjabat presiden pada 2008, Taiwan bersikap terhadap Beijing yang mendorong berbagai peningkatan, ledakan turisme, pembukaan sejumlah rute penerbangan, lebih dari 20 perjanjian perdagangan ditandatangani -- dan pertemuan puncak di Singapura, Sabtu. 

Namun, sebagian besar rakyat Taiwan sebagai bagian dari kegaduhan politik yang gelisah kalau terlalu dekat dengan orbit Tingkong daratan yang berhaluan komunis.

Sekitar 100 demonstran menunjukkan amarahnya di gedung parlemen Taiwan di Taipei sepanjang malam untuk mengecam pertemuan Ma-Xi.

Aksi mereka dihentikan oleh polisi, tetapi belasan lainnya kembali menduduki panggung hingga Sabtu pagi.

Sebagian pengunjuk rasa lainnya mendatangi bandara di ibu kota sebagai tempat bertolaknya Ma. Dalam aksinya mereka membakar gambar Ma dan Xi. Mereka juga meneriakkan slogan Xi sebagai "diktator Tiongkok" dan Ma sebagai "pengkhianat".

Menurut polisi, sebanyak 27 orang tertangkap saat menggelar aksi di bandara.

Pertemuan kedua pemimpin negara itu mampu menarik perhatian 200 jurnalis dari Taiwan, Tiongkok, dan media internasional di sebuah hotel mewah.

Emosi berkobar dan kerumunan wartawan yang berteriak-teriak untuk mendapatkan posisi sebelum jabat tangan Ma-Xi dimulai.

Tiongkok dan Taiwan masih menolak pengakuan legitimasi secara resmi antara yang satu dengan yang lainnya, dan Ma-Xi menapaki jalur yang sulit untuk sebuah pertemuan.

Atau pun keduanya berharap saling menyapa dengan sebutan "presiden", bukan menggunakan "mister", dan jabat tangan dilakukan sebelum dipasangbackdrop warna oranye menyala tanpa tulisan apa pun.

"Menghindari kemunduran dalam hubungan lintas selat akan menjadi upaya serius bagi kedua pemimpin," kata mantan kepala Kedutaan defacto Amerika Serikat di Taiwan, Douglas H. Paal, dalam tulisan analisisnya untuk Carnegie Endowment.

"Sebagaimana sikap politik yang mendukung akan mengatakan, pandangan atas kunjungan ternyata sangat penting untuk menghasilkan pesan." 

Kedua belah pihak kembali berpisah setelah menggelar konferensi pers.

Selanjutnya sebagai refeleksi dari masih ada jarak yang tajam, Ma akan memberikan arahan kepada para pejabat Taiwan, sedangkan seorang pejabat lebih rendah -- sepertinya bukan Xi sendiri -- akan memimpin pengarahan bagi pejabat Tiongkok.

Reunifikasi kedua belah pihak belum ditetapkan di atas meja, sebuah kemungkinan tetap ada pada masa mendatang, kalau itu memang terjadi.

Namun, Ma menekankan harapannya bahwa pertemuan akan menjadi langkah maju untuk normalisasi hubungan lintas selat dan dia bisa menganggap hal itu bisa menaikkan profil Taiwan di dunia internasional.

Kepulauan Taiwan termarginalkan oleh desakan Beijing kepada negara-negara lain agar tidak mengakui pemerintahan Taipei telah berkembang menjadi kebencian rakyat Taiwan.

Pihak penentang menuduh Ma akan meninggalkan jabatannya segera dengan menggunakan pertemuannya dengan Xi tersebut untuk menaikkan peluang kemenangan Partai Kuomintang (KMT) dalam pemilihan presiden pada Januari 2015, yang diperkirakan justeru akan kehilangan banyak suara.

Tiongkok telah berulang kali menolak mengamankan kehadiran Ma dalam pertemuan tatap muka, yang menimbulkan pertanyaan, kenapa lampu hijau diberikan sekarang, menjelang pemilihan presiden Taiwan.

Banyak pengamat menyatakan bahwa Tiongkok juga ingin memperparah penderitaan KMT, sebagaimana pemikiran pihak oposisi.

Namun, mereka mengingatkan bahwa strategi tersebut bisa menjadi bumerang karena pemilih Taiwan akan kecewa, jika Beijing ikut campur dalam pemilihan presiden.

Pertemuan tersebut juga diinterpretasikan oleh beberapa orang sebagai upaya Beijing untuk memainkan perannya menciptakan perdamaian dan menarik perhatian dari ekspansionisme agresif di Laut Tiongkok Selatan yang menyebabkan kegelisahan di seluruh wilayah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper