Bisnis.com, JAKARTA--Pakar Media Gender dan Lingkungan, serta Media dan Anak, Billy K Sarwono mengatakan minimnya narasumber perempuan yang digunakan media membuat partisipasi perempuan di ranah publik tak kelihatan dan kepentingan perempuan tak bisa disuarakan atau terbisukan. Kondisi ini akan mengakibatkan peran dan posisi perempuan semakin direndahkan dan kesetaraan gender di Indonesia semakin sulit dicapai.
Berbagai hasil penelitian tentang bias gender dalam media menunjukkan bahwa perempuan berada di ranah domestik dan laki-laki di juga cenderung menekankan publik; bila perempuan bekerja di sektor publik, maka dia dianggap kurang kompeten atau media atribut seks (kecantikan) daripada pemikirannya.
"Situasi saat ini semakin memprihatinkan saat industri media ikut mengkomodifikasi ideologi patriarki. Seperti gambaran perempuan ideal yang seksi dan atau memiliki wajah cantik mendorong remaja untuk menggunakan berbagai produk demi mencapai standar sesuai dengan konstruksi media," ujar Guru Besar Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, salah satu hal yang menyebabkan pemaknaan dominan ini karena kuatnya kultur patriarki yang juga disosialisasikan lewat komunikasi interpersonal melalui keluarga, institusi pendidikan, teman bermain dan masyarakat.
"Maka solusi yang bisa dilakukan adalah mendorong anak-anak, remaja dan khalayak lain menjadi lebih kritis terhadap sajian media melalui literasi media," tukasnya.
Melalui pendidikan literasi media, tambahnya, seseorang akan memahami bahwa sebagian besar isi media merupakan hasil konstruksi. Guru dan orang tua dapat menjadi ujung tombak usaha pendidikan literasi media, terutama bagi anak dan remaja.
Saya percaya bahwa literasi media merupakan solusi cerdas dan sederhana namun besar dampaknya di kemudian hari untuk mencapai kesetaraan gender di Indonesia, simpulnya.