Bisnis.com, JAKARTA - Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) PPAD memandang rencana permintaan maaf Presiden Jokowi terhadap korban pelanggaran HAM di Papua dan korban penumpasan G-30S-PKI tahun 1965 sebagai tidak tepat dan tidak relevan.
Ketua Umum PPAD Letjen TNI (Purn) Soerjadi kepada wartawan di Jakarta, Rabu menjelaskan bahwa PPAD memandang permintaan maaf kepada korban HAM di Papua disebut sangat tidak relevan karena sebenarnya pemerintah telah menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua secara hukum.
Sedangkan permintaan maaf pemerintah kepada pemberontak PKI 1965 yang telah membunuh tujuh Jenderal TNI AD dianggap sangat tidak tepat dalam konteks ketatanegaraan dan dikhawatirkan akan mengundang upaya untuk memutarbalikkan fakta sejarah, jelas Ketua Umum PPAD.
PPAD menyarankan agar pemerintah mendorong terjadinya rekonsiliasi secara "alamiah" antara pemerintah dengan organisasi/kelompok masyarakat atau antar organisasi/kelompok masyarakat yang pernah bertikai di masa lalu.
Dikabarkan sebelumnya Presiden Jokowi akan meminta maaf kepada kedua kelompok itu dan akan disampaikan pada saat pidato Kenegaraan menyambut HUT RI ke 70.
Soerjadi selanjutnya menyatakan terkait perkembangan masalah Papua, PPAD berpendapat bahwa saat ini Organisasi Papua Merdeka (OPM), selain berkembang luas di Tanah Papua, juga telah memiliki perwakilan di Amerika, Inggris, Belanda, Australia, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji dan negara lainnya.
Bahkan sejak awal Desember 2014 OPM telah menjadi satu dalam organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sehingga menjadi lebih terorganisir, kekuatannya lebih terpusat dan akan lebih mudah dalam mengumpulkan dana.
PPAD menilai penanganan masalah Papua yang bersifat multi kompleks tersebut belum diselenggarakan secara terpadu. Untuk itu, PPAD menyarankan agar pemerintah membentuk satuan tugas yang bersifat ad hoc yang berkedudukan langsung di bawah Presiden, bertugas pokok memadukan upaya terkait pembangunan daerah, diplomasi, penegakan hukum, operasi militer, operasi intelejen serta kegiatan terkait lainnya dalam rangka penanganan masalah Papua secara lebih efektif dan efisien.
Selanjutnya, PPAD juga turut menyoroti ancaman potensial dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bagi Indonesia dalam hal sosial-kependudukan. Dengan jumlah penduduk sebesar 1,5 milyar dan menurut para ahli kependudukan akan menjadi dua milyar lebih pada tahun 2050-an, tentunya RRT memerlukan penciptaan ruang hidup bagi rakyatnya. Berkaca pada proyek investasi RRT di Timor Leste dan Angola yang ternyata dijadikan sebagai "motor" bagi migrasi penduduknya, dengan masuknya berbagai investasi RRT ke Indonesia, tentu akan menjadi ancaman kependudukan bagi bangsa dan negara sehingga diperlukan kewaspadaan dan perhatian khusus dari pemerintah. Soerjadi menyoroti masalah fundamental terkait amandemen UUD 1945 dengan menegaskan bahwa PPAD memandang UUD hasil amandemen tersebut sangat "liberal" sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan Pembukaannya dan Pancasila.
Liberalisme dianggap telah membawa bangsa Indonesia pada atmosfer sosial politik yang diwarnai oleh kebebasan yang seolah tanpa batas, tidak mengindahkan norma etika serta nilai luhur budaya bangsa.
"Kami sangat menyakini paham Bung Karno dan para founding fathers bahwa liberalisme sangat tidak cocok dengan akar budaya bangsa Indonesia. Kita tidak bergolongan Renaissance, akar budaya bangsa kita adalah kolektivisme kekeluargaan, bukan individualisme," ujar Letjen TNI (Purn) Soerjadi.
Untuk itu, PPAD mendesak perlunya pemerintah khususnya MPR untuk mengkaji ulang UUD 1945 hasil amandemen.
"Kami menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang UUD 1945 hasil amandemen atau yang biasa kami sebut dengan UUD 2002 dirunut mulai dari UUD 1945 18 Agustus 1945. Hasil amandemen yang dipandang baik dan tepat agar tetap dipelihara. Amandemen hendaknya dilakukan oleh Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR dan anggotanya yang terdiri dari para professional, ahli Hukum Tata Negara sehingga terhindar dari kepentingan politik golongan. Tahun ini kemerdekaan Indonesia akan memasuki usia ke-70 tahun, mari kita instropeksi diri, kita tidak boleh mundur. Kita harus bergegas kembali pada tujuan awal pembentukan NKRI seperti yang dicita-citakan oleh para founding fathers kita," tambah Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Soerjadi.
Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat merupakan wadah organisasi bagi para purnawirawan TNI Angkatan Darat. Organisasi ini berdiri pertama kali pada 6 Agustus 2003 dan saat ini dipimpin oleh Letjen TNI (Purn) Soerjadi. PPAD memiliki visi yakni bersama-sama TNI dan komponen bangsa lainnya ikut serta menjaga dan melindungi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Baru-baru ini, PPAD merayakan ulang tahunnya yang ke-12 yang kegiatannya digelar di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
DETIK-DETIK PROKLAMASI: Para Purnawirawan TNI AD 'Warning' Pemerintah?
Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) PPAD memandang rencana permintaan maaf Presiden Jokowi terhadap korban pelanggaran HAM di Papua dan korban penumpasan G-30S-PKI tahun 1965 sebagai tidak tepat dan tidak relevan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium