Bisnis.com, JAKARTA -- “Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yg dimakannya itu kerja kami.” (Pramoedya Ananta Toer)
Pramoedya memang pas menggambarkan bagaimana kecenderungan orang kota memandang saudara sebangsa mereka yang berpredikat sebagai orang miskin.
Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman mungkin termasuk dari sedikit orang yang tidak berpandangan seperti yang disampaikan Pram. Salah satu buktinya adalah ketika Agus membentuk Unit Pelayanan Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (UPTPK) Kabupaten Sragen.
Secara singkat Agus menyebut unit yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 2 Tahun 2012 dengan Kantor Kemiskinan Sragen.
Di Kantor Kemiskinan itu, semua urusan yang berhubungan dengan nasib rakyat bawah diurus satu atap. “Kalau kami bisa membuat layanan satu atap untuk calon investor yang masuk ke Sragen, mengapa kami tidak bisa menyediakan layanan serupa untuk warga Sragen yang miskin?” kata Agus dalam perbincangan dengan Bisnis pekan lalu.
Sragen, kabupaten paling timur di Jawa Tengah berbatasan dengan Jawa Timur, selama ini terkenal dengan Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal-nya. Institusi tersebut kerap mendapatkan penghargaan di dalam negeri karena dinilai sebagai kebijakan terobosan di era otonomi daerah.
Setelah berjalan 3 tahun sejak dibentuk, Kantor Kemiskinan juga moncer dalam urusan penghargaan. Salah satu penghargaan malah diterima dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berupa United Nations Public Service Awards (UNPSA) 2015.
“Setahu saya, ada sekitar 30 ribu proposal yang masuk dalam ajang tersebut dari 100-an lebih negara,” kata Agus yang menerima langsung anugerah itu dari Assistant Secretary General for Economic Development di Department of Economic and Social Affairs PBB, Lenni Montiel, pada 26 Juni di Medellin, Kolombia.
Kantor Kemiskinan Sragen menempati posisi kedua di bawah Singapura dan Bangkok yang menempati urutan pertama secara bersama-sama di Kategori III (UNPSA) 2015 bidang Promoting Whole of Government Approaches in the Information Age.
Kantor Kemiskinan Sragen melayani 18 jenis pelayanan yang berhubungan dengan kemiskinan semisal kesehatan dan pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Kantor Kemiskinan Sragen meluncurkan dua kartu yakni Saraswati (Sarase wargo Sukowati) dan Sintawati (Siswa Pintar Sukowati). Nama Sukowati dipakai karena kabupaten itu menyebut dirinya Bumi Sukowati, nama seorang pangeran semasa Kerajaan Mataram yang memimpin perang melawan Belanda di wilayah itu.
“Database di Kantor Kemiskinan itu by name dan by addres secara lengkap dan terus di-update. Menyiapkan database ini termasuk pekerjaan yang paling sulit dan memakan waktu.”
Data lengkap di Kantor Kemiskinan itu bisa digunakan secara online oleh 300 user yang terdiri dari badan, dinas, kantor, bagian, 20 kecamatan, 20 UPTPK kecamatan, 25 puskemas, 280 desa dan kelurahan.
BELUM DIAKUI
Kantor Kemiskinan yang digagas Agus sebagai Bupati Sragen sebenarnya memunculkan ironi di dalam negeri. Mendapatkan anugerah dari lembaga sekaliber PBB namun masih dianggap ‘anak haram’ di negeri sendiri.
Ironi itu juga semakin terasa ketika Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, yang berkunjung ke Sragen pada 11 Juni menyebut Kantor Kemiskinan Sragen akan menjadi proyek percontohan untuk skala nasional.
“Saya akui inovasi berbasis kerakyatan yang dilakukan Pemkab Sragen benar-benar melampaui bayangan banyak orang mengenai bagaimana mengatasi kemiskinan dengan pendekatan yang tidak represif, melainkan kekeluargaan,” ujar Yuddy seperti dimuat di situs resmi Kantor Menpan dan RB.
UPTPK bukan merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah karena merupakan produk bersama antara Bupati dan DPRD.
“Kantor Kemiskinan masih belum diakui oleh pemerintah pusat karena aturan legal formalnya belum ada. Makanya sekarang level Kantor Kemiskinan itu baru berbentuk unit pelayanan yang anggarannya dicarikan dari badan-badan yang sudah ada.”
Dengan status sebagai unit itu, anggaran dan sumber daya manusia di Kantor Kemiskinan Sragen masih mengandalkan ‘pembagian jatah’ dari SKPD yang ada. Dengan kenyataan itu, Kantor Kemiskinan pastinya tidak akan bebas dan lincah bergerak. Bahkan, menurut Agus, pernah ada surat dari satu kementerian yang meminta dirinya membubarkan keberadaan lembaga tersebut.
Keberadaan sebuah Kantor Kemiskinan seperti yang digagas Kabupaten Sragen jelas bukan berarti pengentasan kemiskinan pasti berhasil karena masih ada persoalan implementasi di lapangan. Namun yang jelas, adanya lembaga seperti itu yang dibentuk dengan saksama, terutama penyusunan database orang miskin, bisa menjadi ukuran seberapa serius perhatian memikirkan soal kemiskinan.
Jangan sampai, seperti kata Pramoedya, pemerintah pusat termasuk dalam frasa “di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan.”