Bagian 2
Berdasarkan Instruksi Presiden No. 13/1976, Jabotabek termasuk Tangerang merupakan wilayah pengembangan yang siapkan untuk mengurangi ledakan penduduk di Ibu Kota.
Daerah penunjang DKI ini juga diharapkan bisa mendorong kegiatan perdagangan dan industri, mengembangkan pusat pemukiman, dan mengusahakan keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah yang berbatasan langsung.
Hal tersebut tertera dalam ringkasan sejarah Kota Tangerang. Hasilnya sekarang kota ini dihuni sekitar 1,7 juta jiwa. Padahal, sensus pada 1990 mencatat penduduk baru berjumlah 921.848 jiwa.
Pabrik, perkantoran, gedung-gedung ritel, mal, perumahan, ini yang menghiasi Tangerang masa kini. Bangunan tersohor yang ada di Tangerang tempo dulu hanya benteng. Dulunya kota ini memang dikelilingi benteng, karenanya peranakan Tionghoa di sini disebut China Benteng.
Pada era 1683, Pemerintah Kolonial Belanda membangun benten di pinggiran Sungai Cisadane. Tujuannya tentu untuk mempertahankan diri terhadap serangan Kesultanan Banten. Tidak ada sumber resmi yang bisa memastikan seberapa panjang benteng ini terbentang.
Oey Tjin Eng, generasi kedelapan peranakan Tionghoa Tangerang, menyebutkan bangunan pertahanan itu ada dari titik yang sekarang menjadi Masjid Agung Al-Ijtihad sampai ke daerah belakang Mal Robinson, Kota Tangerang. Benteng yang berdiri di Tangerang termasuk salah satu pertahanan terdepan Belanda di Jawa.
"Pada 1407 terdampar serombongan perahu di Teluk Naga di bawah pimpinan Tjen Tjie Lung atau Halung, di dalamnya ada sembilan orang gadis," ujar pria kelahiran Tangerang 71 tahun silam itu.
Mereka mendarat di muara Sungai Cisadane yang kini dikenal sebagai Teluk Naga.