Bisnis.com, JAKARTA-Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan amnesti dan abolisi kepada 67 narapidana politik asal Papua dan Maluku.
Haris Azhar, Koordinator Kontras, mengatakan grasi yang diberikan Presiden Jokowi kepada lima orang narapidana politik belum cukup untuk menunjukkan niat baik pemerintah dalam memperbaiki hubungan dengan Papua.
“Kelima narapidana yang mendapat grasi memang berhak untuk bebas, karena sudah 12 tahun dipenjara, sakit-sakitan, dan mendapat perlakuan buruk di tahanan militer. Akan tetapi, masih ada puluhan tahanan politik Papua yang seharusnya mendapat amnesti dan abolisi,” katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (11/5).
Kontras bersama Aliansi Demokrasi Untuk Papua, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua, Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum, Tempat Advokasi Masyarakat Sipil Maluku, dan Yayasan Pantau meminta Presiden Jokowi segera membebaskan 67 narapidana politik yang masih ditahan.
Haris menuturkan sejumlah organisasi nasional dan internasional sebenarnya telah mempersoalkan narapidana dan tahanan politik di Indonesia. Bahkan, pada November 2011, UN Working Group on Abritrary Detention di New York menyatakan Filep Karma yang saat ini menjadi narapidana politik di Abepura tidak mendapat peradilan yang adil.
Menurutnya, Pengadilan Indonesia menafsirkan pasal-pasal makar di Pasal 106 dan 110 KUHP dengan tidak proporsional, dan meminta pemerintah sesegera mungkin membebaskan Filep Karma tanpa sarat.
“Pada September 2012, belasan negara mempertanyakan keberadaan tahanan politik di Indonesia pada saat Universal Periodic Review terhadap Indonesia di Geneva,” ujarnya.
Adapun 67 narapidana politik yang dianggap perlu mendapat amnesti dan abolisi adalah 29 narapidana RMS yang ditahan di Ambon, Porong, Madiun, dan Nusa Kambangan. Kemudian 38 narapidana politik Papua yang ditahan di tujuh penjara pada Maret 2015.
Para narapidana RMS umumnya ditahan karena melakukan kegiatan pro-kemerdekaan RMS melalui tarian, nyanyian, dan ibadah. Sementara itu, tahanan politik asal Papua umumnya melakukan kegiatan pro-kemerdekaan, dan tindak kekerasan.