Bisnis.com, BANDUNG - Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kab Bandung pada tahun ini menargetkan produksi tanaman stevia sebagai pengganti gula rendah kalori mengalami peningkatan hingga 30% dari produksi saat ini mencapai 2 ton.
Kabid Perkebunan Distanbunhut Kab Bandung Ande Supriatna mengatakan, dalam rangka meningkatkan produksi tanaman asal Amerika Selatan itu diantaranya dengan penambahan areal tanaman, dry house hingga unit pengolahannya.
"Kami tahu tanaman ini sangat menjanjikan sekali untuk dikembangkan karena akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani," katanya, kepada Bisnis, Jumat (27/3/2015).
Menurut dia, setelah kalangan industri farmasi banyak membutuhkan tanaman dari famili Asteraceae (Compositae) ini, tak sedikit kelompok tani atau balai penelitian mulai melakukan pembudidayaan seperti pusat penelitian teh dan kina Gambung.
Akan tetapi, berdasarkan informasi yang didapatkannya pengembangan yang dilakukan Gambung belum terlalu memuaskan karena belum bisa menyerupai produksi stevia generasi pertama yang dilakukan petani lokal.
"Dengan kata lain, kendala yang dihadapi oleh petani saat ini adalah masalah bibit yang masih sulit didapat. Tentu saja, bibit yang harus ditanam haruslah sudah mendapatkan sertifikat dari intansi berwenang," ujarnya.
Oleh karena itu, dirinya mendorong kepada Kementerian Pertanian untuk mulai mengembangkan secara serius bibit bersertifikat untuk stevia. Sebab, tanaman ini bisa menjadi alternatif pembuatan gula sebagai antisipasi dari pengurangan lahan tebu.
Stevia merupakan tanaman pengganti gula yang berhubungan dengan kesehatan diabetes melitus. Penyakit yang kerap diistilahkan dengan “Silent Killer” yang telah banyak menelan korban.
"Perlu alternatif yang sehat sebagai pengganti gula. Sedini mungkin kita harus mencari pengganti alami gula, salah satunya stevia," ujarnya.
Di Jepang, 5,6% gula yang dipasarkan adalah stevia atau yang dikenal dengan nama sutebia. Stevia digunakan sebagai pengganti pemanis buatan seperti aspartam dan sakarin.
Di Kab Bandung saat ini stevia baru ditanam di lahan seluas 6 hektar di Kecamatan Pasir Jambu. Proses budidayanya sudah lama sejak 2010, tapi belum banyak petani yang menanamnya.
Apabila sudah menghasilkan atau sudah dapat dipanen tanaman yang memiliki usia hingga tiga tahun ini, bisa dipanen setiap 3-4 bulan sekali.
"Untuk bisa panen pertama memerlukan waktu 5-6 bulan. Setelah itu bisa dipanen 3-4 bulan sekali. Jika melihat potensi ekonominya jelas sangat menguntungkan," ujarnya.
Salah satu industri yang siap menampung stevia adalah PT Kimia Farma yang memerlukan 100 ton daun dan batang stevia kering atau sama dengan 500 ton daun batang basah setiap bulannya.
Perusahaan plat merah itu, berani membeli tanaman tersebut dikisaran Rp3.000 - Rp3.500 per kilogram.
Stevia masuk ke Kab Bandung pada saat sebuah perusahaan asal Korea Selatan yang melakukan pembibitan di Kecamatan Cimaung yang awalnya hendak mengembangkan di salah satu daerah di Cianjur.
"Mereka sempat menularkan ilmunya kepada tiga kelompok tani di Kabupaten Bandung dengan dua kelompok tani di Cimaung dan satu kelompok di Pasirjambu," paparnya.