Kabar24.com, PEKANBARU --Pola Presiden Jokowi dalam merekrut pejabat negara mendapat sorotan tajam.
Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Syaiful Wahab berpendapat bahwa semestinya Presiden Jokowi tidak memberlakukan standar ganda dalam pengangkatan pejabatnya.
"Semestinya Presiden Jokowi membuat keputusan tegas bahwa anggota kabinetnya, termasuk Kapolri dan Jaksa Agung harus melalui pertimbangan KPK. Tidak memberlakukan standar ganda dalam pengangkatan pejabatnya," kata Syaiful Wahab dihubungi dari Pekanbaru, Rabu (28/1/2015).
Pendapat demikian disampaikannya bagaimana cara mencari solusi perseteruan antara Polri-KPK.
Menurut dia, perseteruan antara KPK dan POLRI sudah sering kali terjadi, tetapi kali ini sumber masalah perseteruan itu terjadi ketika Budi Gunawan (calon Kapolri) dijadikan status tersangka oleh KPK.
Meskipun BG telah disetujui oleh DPR RI dan Presiden, namun jika Presiden memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung pemberantasan korupsi, semestinya Presiden bukan hanya menunda pelantikan Budi Gunawan, tetapi meminta kepada DPR RI untuk mengusulkan nama-nam calon lain yang memiliki "track record" yang bersih.
"Apalagi masih banyak calon lain yang pernah masuk ke DPR RI untuk diusulkan menjadi Kapolri," katanya dan memandang bahwa agak aneh memang, ketika DPR RI mengetahui bahwa BG masih bermasalah dengan KPK terkait dengan rekening gendut pada tahun 2010, namun DPR tetap bersepakat mengusulkan BG menjadi Kapolri, kecuali Partai Demokrat yang tidak sepakat, yang kemudian diikuti oleh PAN.
Presiden Jokowi, kata Dekan III FISIP Unand lagi, mestinya menahan diri untuk tidak langsung begitu saja menerima usulan tersebut jika Presiden punya sensitifitas dan spirit anti korupsi.
Karena Presiden sedang diberi "bola panas", yang disadari atau tidak akan berhadapan dengan pegiat atau aktivis anti korupsi. Padahal hampir semua menteri yang diangkat oleh Jokowi selalu minta pertimbangan KPK bahwa yang bersangkutan harus terbebas dari kasus korupsi.
"Namun dalam kasus BG Presiden justru menafikan pertimbangan tersebut, tetapi hanya meminta pertimbangan Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) yang sebagian besar orang kepolisian. Di sinilah letak kesalahan Presiden Jokowi, ada standar ganda dalam pengangkatan anggota Kabinet Kerjanya," katanya.
Ia memandang bahwa tindakan Polri memperkarakan Pimpinan KPK dan pelemahan KPK secara institusional, dapat dipastikan tidak akan melemahkan gerakan dan semangat antikorupsi bangsa Indonesia yang sedang bergejolak saat ini.
Perkara yang diadukan Polri terhadap Pimpinan KPK (Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu, dan menyusul kemudian Zulkarnain) dapat dikatakan sedikit sekali relevansinya dengan persoalan korupsi.
"Biarkan Polri terus memperkarakan pimpinan KPK sesuai dengan jenis perkaranya, karena tugas KPK masih tetap bisa berjalan dengan komisioner yang tersedia atau presiden bisa menetapkan pelaksana tugas komisioner yang baru selama proses hukum pimpinan KPK berlangsung," kata dia.
Akan tetapi sebaliknya Polri harus bisa menerima kenyataan bahwa para pimpinan di intansinya selama ini memang banyak terindikasi melakukan praktik korupsi dan mereka harus siap untuk diperiksa.
Agak aneh jika mereka merasa sebagai aparat penegak hukum namun mereka sendiri tidak bersedia untuk menegakkan hukum di dirinya (di instansinya) sendiri.
"Jika Presiden Jokowi berani menegakkan revolusi mental dalam kabinetnya, maka semestinya dia berani pula membersihkan Polri dari mental-mental korup yang selama ini berurat dan berakar di institusi penegak hukum dan kepolisian," katanya.