Bisnis.com, MALANG - Situasi di dalam negeri yang berkembang saat ini memberikan peringatan dini terhadap stabilitas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan (Ipoleksosbudhankam).
Menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2015 mendatang, masyarakat diimbau untuk waspada terhadap ancaman tejadinya perang proxy atau proxy war.
Tirton Nefianto, staf ahli Panglima Daerah Militer (Pangdam) V Brawijaya bidang ekonomi, mengatakan peringatan tersebut ditandai dengan maraknya aksi kekerasan horisontal, terorisme, radikalisme, penyalahgunaan narkoba dan minuman keras, demo buruh dan demo penolakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang bersifat anarkis dengan merusak fasilitas-fasilitas umum dan fasilitas-fasilitas pemerintah.
“Kondisi negara kita saat ini sedang berada pada masa peralihan kepemimpinan nasional di tengah tantangan persaingan global yang semakin ketat,” kata Tirton di Malang, Minggu (21/12/2014).
Sehingga aksi kekerasan yang marak sudah tidak bisa dibiarkan lagi karena sudah menjurus pada pembangkangan hukum. Menurutnya saat ini telah terjadi perkembangan yang signifikan yaitu ditandai dengan telah bergesernya sifat dan karateristik perang seiring dengan perkembangan teknologi.
Kemungkinan terjadinya perang konvensional antara dua negara dewasa ini semakin kecil. Namun adanya tuntutan kepentingan kelompok telah menciptakan perang-perang jenis baru diantaranya perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy.
“Hal itu bisa terjadi karena dalam perang proxy selalu mengeksploitasi hal-hal sensitif yang berkaitan dengan kepentingan publik, seperti buruh dan lain-lain dengan tujuan untuk melumpuhkan perusahaan-perusahaan domestik agar tidak mampu bersaing dengan perusahaan luar negeri dalam pasar global juga dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015,” jelas dia.
Dengan konsep perang modern yaitu proxy war dimana musuh tidak terlihat dan dilakukan oleh actor non state yang dikendalikan oleh state, maka tidak menutup kemungkinan pertikaian antar kelompok yang terjadi di Indonesia bukan sengaja diciptakan dan didesain oleh aktor dalam negeri yang dikendalikan oleh negara lain.
“Ancaman yang bersifat nonmiliter tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional dan menurunkan kepercayaan internasional karena menganggap Indonesia adalah negara yang tidak aman, sehingga para investor luar negeri tidak mau menanamkan invetasinya di Indonesia,” ujarnya.
Bahkan investor yang sudah adapun akan memindahkan usahanya ke negara yang dianggapnya lebih aman untuk investasi. Sementara itu industri dalam negeri tidak mampu bersaing. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan pembangunan nasional tidak dapat berjalan.
Dicontohkan pada 2013 sebanyak 19 perusahaan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) terpaksa gulung tikar akibat demo buruh dan akhirnya ribuan orang harus di PHK.
“Untuk mengatasi perang proxy yang sedang terjadi saat ini, maka seluruh komponen masyarakat, terlebih lagi kalangan generasi muda harus dibekali dengan wawasan kebangsaan, cinta tanah air dan semangat bela negara. Karena hanya dengan itulah ancaman perang proxy dapat diatasi,” tambah dia.