Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banyak Netizen Tolak RUU Pilkada

Wacana RUU Pilkada yang dijadwalkan disahkan pada September ini mendapat penolakan dari pengguna jejaring sosial (netizen).

Bisnis.com, JAKARTA--Wacana RUU Pilkada yang dijadwalkan disahkan pada September ini mendapat penolakan dari pengguna jejaring sosial (netizen). Polemik RUU yang mengatur proses pemilihan langsung oleh rakyat diganti dengan pemilihan tidak langsung atau pemilihan oleh anggota DPRD menghasilkan perang opini antara yang pro dan kontra di media sosial.

Seperti diketahui, pemilihan langsung kepala daerah telah bergulir sejak 2004. Pemilihan langsung itu dinilai telah menghadirkan wajah-wajah baru dalam peta perpolitikan Indonesia.

Wajah–wajah baru politisi itu dinilai lebih merakyat, dicintai, dan kompeten dalam mengemban amanah rakyat, sebut saja Risma walikota Surabaya, Ridwan Kamil walikota Bandung, Bima Arya S, Walikota Bogor, Mantan Bupati Belitung Timur Basuki T.P atau yang akrab dipanggil Ahok bahkan Jokowi yang kini menjadi Presiden pernah menjabat sebagai Walikoto Solo melalui proses tersebut.

"Maka tak heran ketika wacana RUU Pilkada ini digulirkan dengan ketentuan baru yakni dihapuskannya proses pemilihan langsung oleh rakyat dan digantikan dengan pemilihan tidak langsung atau pemilihan oleh anggota DPRD menghasilkan perang opini antara yang pro dan kontra," ujar Yose Rizal Founder PoliticaWave dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis.com, Selasa (9/9/2014).

Jose menuturkan tensi percakapan isu tersebut pun terus meningkat hingga hari ini baik dalam pemberitaan di media konvensional maupun digital dan tak terkecuali di sosial media tempat dimana jutaan rakyat Indonesia bisa langsung mengeluarkan pendapat, kritik dan saran secara bebas dan cepat.

Menurutnya, sejak gelaran pilpres 2014 netizen Indonesia semakin kritis dalam menanggapi dan mengawal isu-isu nasional, tak terkecuali dalam isu RUU pilkada ini.

Pantauan PoliticaWave terkait percakapan RUU pilkada sejak tanggal 1-8 September 2014 memukan total percakapan mencapai 140,298 percapan yang dilakukan oleh 21,028 akun (unique user).

Dari hasil analisa, besarnya percakapan tersebut menimbulkan beragam opini dan isu lainnya, tetapi yang paling mendominasi adalah penolakan netizen akan usulan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Hingga tulisan ini dibuat,penolakan tersebut masih terus didengungkan dan semakin meluas di sosial media.

Sebagaimana diberitakan, DPR mendorong pengesahan RUU ini agar pelaksanaan pilkada kedepannya bisa digelar secara bersamaan dan dilakukan tidak langsung atau dipilih oleh DPRD demi menghemat biaya, menghindari terjadinya konflik dan mengeliminasi proses money politic.

Namun tampaknya usulan ini tidak mendapat dukungan yang luas dari rakyat Indonesia. Netizen justru menghkawatirkan hilangnya hak untuk memilih langsung kepala daerah mereka dan proses tersebut mengingatkan mereka pada proses legislasi di masa Orde Baru yang jauh dari nilai demokrasi.

Netizen menilai bahwa jika RUU Pilkada tanpa pemilihan langsung ini berhasil diloloskan maka hal tersebut menandakan hilangnya kedaulatan rakyat dan demokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu decade ini harus mengalami kemunduran yang sangat besar.

Bersamaan dengan protes keras yang dilontarkan oleh berbagai tokoh dari berbagai kalangan mulai dari politikus, pengamat politik, pengamat hukum dan pemerintahan, protes juga datang dari jutaan netizen Indonesia.

Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa netizen menolak RUU pilkada tersebut yakni Netizen tidak ingin kehilangan hak politiknya untuk langsung memilih pemimpin sesuai pilihan hatinya sesuai dengan asas demokrasi.

Kedua, netizen khawatir tidak akan lahir lagi tokoh–tokoh pemimpin baru yang akan memperjuangkan hak rakyat melainkan yang lahir adalah pemimpin yang keputusannya hanya akan mewakili kelompok dan kepentingan politis tertentu dimana hal ini pernah dirasakan oleh sebagian netizen di zaman Orde Baru.

Terakhir, rasa kekhawatiran netizen terhadap negatif yang dapat timbul dari lolosnya RUU ini, yakni secara nasional adalah tidak adanya kerja sama yang baik antara Pemerintah Pusat dengan Daerah, yang dalam jangka panjang akan menghambat kinerja Pemerintah pada tataran nasional.

Salah satu contoh dari dampak negative tersebut adalah sebagaimana diketahui Koalisi Merah Putih menguasai sebagian besar parlemen di tingkat DPRD, sehingga kepala daerah yang dipilih DPRD hampir pasti berasal dari koalisi Merah Putih.

Perbedaan koalisi politik antara Pusat dan Daerah dapat menyebabkan Daerah menolak menjalankan perintah atau aturan dari Pusat dengan alasan politis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Thomas Mola
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper