Bisnis.com, JAKARTA - Berbagai serikat buruh di Indonesia bersama pemerhati perburuhan akan menggelar Pengadilan Rakyat Indonesia pada 21-24 Juni 2014 di Jakarta. Pengadilan Rakyat Indonesia merupakan pengadilan yang keempat. Pengadilan yang sama pernah dilaksanakan di India, Sri Lanka, dan Kamboja.
Ketua Pelaksana Pengadilan rakyat, Emelia Yanti Siahaan menjelaskan pengadilan ini akan menghadirkan saksi-saksi dan korban-korban pelanggaran hak asasi manusia di tempat kerja di perusahaan-perusahaan pembuat merek-merek terkenal, seperti Adidas, Nike, H&M, GAP, dan Wal-mart.
“Di hadapan para pemilik merek, panel hakim dari tiga benua, seratus orang anggota serikat buruh, serta para saksi akan memperlihatkan berbagai ketidakadilan yang diterima buruh di Indonesia,” ujarnya melalui rilis resmi, Jumat (20/6/2014).
Ketidakadilan tersebut, sambung Emelia, meliputi diskriminasi berbasis jender dan kontrak kerja ilegal, pemutusan hubungan kerja dan pemberangusan serikat buruh, pengupahan yang tidak adil, dan praktik kerja kontrak illegal yang telah merugikan kaum buruh.
Emilia mengatakan melalui kesaksian tersebut, para hakim secara bebas dan independen akan memeriksa, menyelidiki, dan menginvestigasi semua kasus yang dihadirkan. Meski putusan hakim tidak mengikat secara hukum, tapi memiliki dampak kredibilitas moral, terutama bagi kaum marjinal.
Selain Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 92, Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), hadir pula pemerhati buruh dari Asia dan Eropa, yaitu Asia Floor Wage Alliance dan Clean Cloth Campaign.
Berbeda dengan PHI
Pengadilan Rakyat Indonesia berbeda dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yang diperkenalkan pada 2004. Sejak dioperasikan pada 2006, PHI nyaris menjadi sebuah lembaga yang memarjinalkan kepentingan buruh. Dengan mekanisme yang kaku dan proses yang lama, putusan PHI kerap merugikan buruh.
Lebih dari persoalan di atas, PHI hanya menempatkan hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan tempat buruh bekerja. Para pemilik merek yang menikmati keuntungan yang berlipat lepas dari pertanggungjawaban dengan cara memindahkan atau mengurangi pesanan.
Perwakilan buruh dari perusahaan yang membuat merek Adidas, Kokom Komalawati mengatakan, “Para pemilik merek, seperti Adidas, telah menikmati keuntungan dari keringat buruh, tetapi mereka tidak bertanggung jawab terhadap kondisi kerja para buruh.”
Kokom Komalawati adalah saksi dan perwakilan dari 1.300 buruh yang telah dipecat pada Juli 2012. Mereka dipecat sepihak oleh perusahaan pemasok Adidas, PT Panarub Dwi Karya Tangerang Banten.
“Kami tidak memproses kasus kami melalui PHI. Karena PHI itu mahal, lama, dan tidak berpihak pada buruh. Kasus yang kami alami pun tidak murni perdata. Apakah PHI dapat memproses kasus kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh preman kepada buruh? Kan tidak bisa,” jelas Kokom.