Bisnis.com, JAKARTA --Hukuman kurungan dan denda dijatuhkan majelis hakim kepadaDeddy Kusdinar terkait kasus Hambalang.
Vonis 6 tahun penjara dijatuhkan untuk Deddy Kusdinar yang sebelumnya adalah Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen dalam Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang.
Selain itu, dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/3/2014), Deddy Kusdinar juga dikenai denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp300 juta subsider enam bulan penjara.
"Menyatakan terdakwa Deddy Kusdinar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara besama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kedua Pasal 3 jo pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP sebagaiman dakwaan kedua dan menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Amin Ismanto.
Vonis tersebut masih ditambah dengan kewajiban membayar pidana uang pengganti Rp300 juta subsider 6 bulan penjara.
Putusan tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta Deddy divonis selama 9 tahun denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pidana uang pengganti senilai Rp300 juta subsider 1 tahun penjara.
"Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan hal yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan, masih punya tanggungan keluarga, dan merupakan pegawai teladan di Kemenpora," jelas Amin.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai bahwa Deddy terbukti menguntungkan diri sendiri.
"Pada tahap awal persiapan dan perencanaan P3SON, terdakwa selaku Kepala Biro Perencanaan merangkap koordinator tim asistensi telah mempunyai maksud dan tujuan menguntungkan khususnya PT Metaphora Solusi Global (MSG) agar menjadi penyedia jasa konsultan perencana proyek Hambalang," kata anggota majelis hakim Sutio.
Deddy terbukti memberikan surat tugas kepada Komisaris PT Methapora Solusi Global Muhammad Arifin untuk mengurus pendapat teknis ke Kementerian Pekerjaan Umum terkait proyek Hambalang.
Deddy juga meminta Asep Wibowo dan Muhammad Arifin untuk membuat Rancangan Anggaran Biaya proyek Hambalang dengan jumlah anggaran Rp2,5 triliun.
"Terdakwa pernah meminta Rp10 juta dari Malenteta Ginting untuk yayasan terdakwa di Jawa Barat dan pernah mengirimkan Rp150 juta masing-masing tiga kali ke rekening Iim Rohimah, sekreatris Menpora Andi Mallarangeng untuk operasional Menpora," ungkap hakim Sutio.
Dalam hal penyalahgunaan, Deddy dinilai terbukti melakukan sejumlah tindakan untuk mengatur proses lelang dan pengadaan proyek Hambalang.
"Sebelum pengadaan lelang, terdakwa telah menentukan perusahaan-perusahaan yang akan menjadi pemenang lelang proyek Hambalang, yaitu PT Yodya Karya yang menjadi Konsultan Perencana, PT Ciriajasa Cipta Mandiri menjadi konsultan manajemen konstruksi dan PT Adhi Karya menjadi pelaksana jasa konstruksi," kata anggota majelis hakim Anwar.
Deddy juga dinilai mengesahkan harga perhitungan sendiri (HPS) padahal disusun dari Bill of Quantity yang dibuat Adhi Karya dan bukan oleh panitia ataupun Konsultan Perencana.
Deddy juga meloloskan proses pembangunan Hambalang padahal saat itu belum dilakukan studi lingkungan (amdal) di lokasi Hambalang.
Selanjutnya, Deddy menandatangani kontrak tahun jamak untuk pembangunan Hambalang dengan KSO Adhi-Wijaya Karya padahal saat itu izin kontrak dari Kementerian Keuangan belum ada.
Kemudian Deddy memfasilitasi pemberian uang dari Adhi Karya untuk Choel Mallarangeng sebagai fee 18 persen atas proyek Hambalang.
Pada 2011 meski tidak lagi menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Deddy melakukan penunjukan langsung dan menandatangani kontrak dengan rekanan proyek Hambalang, yaitu dengan Yodya Karya, Ciriajasa Cipta Mandiri, dan KSO Adhi-Wika sebagai penyedia jasa konstruksi.
Hasilnya, dari perbuatan-perbuatan tersebut negara dirugikan sebesar Rp463,668 miliar dari proyek Hambalang.
"Terdakwa juga mendapatkan keuntungan diri sendiri sebesar Rp300 juta yaitu uang Rp40 juta yang berasal dari Lisa Lukitawati, Rp10 juta dari PT Ciriajasa Cipta Mandiri dan Rp250 juta dari PT Global Daya Manunggal," ungkap hakim Anwar.
Atas putusan tersebut baik Deddy maupun jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.
Namun seusai sidang, Deddy mengaku terkejut dengan putusan itu.
"Ya saya masih shock karena di luar nalar pengetahuan saya tentang hukum, saya sangat tidak mengerti dasar untuk menjatuhkan hukuman ke saya. Contohnya, saya memimpin rapat di sebuah hotel, bagaimana mungkin? Saudara Sonny Anjangsono mengarang itu pun tidak kenal saya. Kalau saya mau korupsi, ngapain Rp300 juta dari Rp2,5 triliun? Tidak ada itu," kata Deddy.
Ia pun membantah mengantarkan fee 18 persen ke Choel Mallarangeng untuk mantan Menpora Andi Mallarangeng.
"Saya mengaku saya mengawal, ada kardus, saya tidak mengerti isinya, saya tidak tahu uang itu, mungkin ada kesalahan saya yang mana yang saya lakukan karena saya sendirian jadi PPK di Kemenpora," ungkap Deddy.
Pengacara Rudy Alfonso mengatakan bahwa kontrak tahun jamak dilakukan karena ada kelebihan anggaran.
"Pak Deddy mengelola anggaran yang nilainya sangat besar, itu dia PPK tunggal, Rp2 trliun lebih, termasuk anggaran yang akan dicairkan secara multiyears, secara logika multiyears tidak mungkin lolos secara persyaratannya tidak memenuhi. Faktanya, lolos juga, itu anggaran digelontorkan di akhir tahun melalui APBN Perubahan, karena tidak bisa terserap, akhirnya diakali untuk menjadi multiyears," kata Rudy.