Bisnis.com, JAKARTA - Pembentukan Grup D Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) untuk mengawal mantan presiden dan wakil presiden menimbulkan polemik di publik.
Panglima TNI Jenderal Moeldoko meresmikan pembentukan Grup D Paspampres itu di Markas Komando Paspamres TNI di Tanah Abang, Jakarta Pusat Senin (3/3/2014). Untuk pembentukan grup baru itu, negara menggelontorkan dana sekitar Rp30 miliar untuk membiayai operasional khusus tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus (TB) Hasanuddin yang merupakan mantan anggota Paspampres semasa Presiden Megawati Sukarno Putri mengapresiasi pembentukan grup tersebut. Dia menilai pembentukan Grup D sangat diperlkukan sebagai pasukan tambahan.
Apalagi, pembentukan itu akan membuat terjadinya reorganisasi anggota TNI yang bertugas mengawal para mantan presiden dan wakil presiden yang kini bergabung dalam satu grup.
Dukungan serupa juga disampaikan politisi Partai Hanura dari Komisi I DPR Susaningtyas Kertopati (Nuning). Menurutnya, pembentukan grup tersebut sangat berguna untuk menjamin keamanan mantan presiden dan wakilnya. Nuning berdalih selama ini pengawalan mantan presiden dan wakil presiden tidak ditanggung negara.
Menurutnya, pembentukan Grup D Paspampres cukup penting dan alokasi biaya sebesar Rp30 miliar untuk pembentukannya sudah sesuai dengan plafon anggaran. Nuning pun berdalih bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, pengamanan khusus kepada mantan presiden dan wapres tetap dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada mantan pejabat tinggi negara.
Namun Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai pembentukan grup tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dalam sisi pengamanan selain memboroskan anggaran negara.
Menurutnya, pembentukan pasukan khusus tersebut lebih bernuansa pada ketakutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlebihan setelah mengakhiri masa tugasnya.
Ray menyatakan di seluruh dunia pengamanan mantan presiden dilakukan secara minimal, bukan maksimal. Apalagi dalam konteks Indonesia, ancaman terhadap para mantan pejabat tinggi negara sangat rendah kalau dilihat sejak masa presiden Sukarno.
Selain itu, ujarnya, belum tentu para mantan pejabat tersebut bersedia mendapat pengawalan yang berlebihan dari Paspampres. Dia mencontohkan mantan Presiden BJ Habibie yang lebih memilih hidup bersahaja tanpa pengawalan berlebihan karena keinginannya menjadi masyarakat sipil biasa.
“Saya melihat ini tidak lebih dari ketakutan Presiden SBY yang berlebihan setelah tidak lagi menjabat,” ujarnya ketika dihubungi , Rabu (5/3/2014).
Dia menyebutkan belum pernah ada ancaman pembunuhan kepada para mantan presiden di dunia, apalagi di Indonesia.