Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF: Pemulihan Ekonomi Dunia Masih Rentan

Prospek positif pada pertumbuhan ekonomi dunia yang ditopang oleh pemulihan ekonomi negara maju masih menghadapi sejumlah tantangan antara lain ancaman deflasi di negara maju dan volatilitas di negara berkembang.
Berdasarkan analisis ekonomi, IMF menyatakan pengimplementasian reforamsi struktural, termasuk fiskal, tenaga kerja, dan investasi infrastruktur akan menambah 0,5% terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahunan selama 5 tahun mendatang. /bisnis.com
Berdasarkan analisis ekonomi, IMF menyatakan pengimplementasian reforamsi struktural, termasuk fiskal, tenaga kerja, dan investasi infrastruktur akan menambah 0,5% terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahunan selama 5 tahun mendatang. /bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA—Prospek positif pada pertumbuhan ekonomi dunia yang ditopang oleh pemulihan ekonomi negara maju masih menghadapi sejumlah tantangan antara lain ancaman deflasi di negara maju dan volatilitas di negara berkembang.

International Monetary Fund (IMF) menyatakan kedua resiko tersebut berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi dunia yang diprediksi tumbuh yaitu 3,75% pada tahun ini dan 4,0% pada 2015.

“Untuk negara berkembang, tantangan masih seputar eksodus modal, tingginya suku bunga, dan depresiasi mata uang akibat pengurangan stimulus oleh The Fed,”ungkap IMF dalam rilisnya, Rabu (19/2/2014).

Seperti diketahui, negara berkembang cenderung menyalahkan The Fed terkait sentimen negatif pasar pada Januari tahun ini dan tahun lalu. Desember 2013 dan Januari 2013 merupakan waktu dimana The Fed melancarkan aksi tapering-nya hingga mencapai US65 miliar per bulan.

IMF menambahkan ketatnya kondisi finansial juga mampu melemahkan investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Meskipun begitu, aktifitas ekspor negara berkembang terlihat menguat akibat pemulihan ekonomi di negara maju. Tetapi, pada saat yang sama, konsumsi domestik di negara berkembang masih dikategorikan melemah.

“Volatilitas ekonomi negara berkembang tidak hanya disebabkan oleh tapering The Fed, tetapi juga kondisi internal yang masih lemah antara lain defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan,”ucap IMF dalam rilisnya.

Pasar ekonomi negara berkembang, ungkap IMF, membutuhkan kebijakan dengan kerangka asumsi makro yang kredibel yang diikuti dengan fleksibilitas nilai tukar untuk menghadapi turbulensi ekonomi.

Intinya, kebijakan makro fiskal dan moneter harus selaras agar mampu menopang volatilitas ekonomi dunia yang cenderung tidak mudah ditebak ini.

“Ketika pemerintah mampu mengimplementasikan hal tersebut, maka volatilitas ekonomi dunia tidak akan berpengaruh signifikan terhadap ekonomi internal,”tekan IMF.

Namun, IMF mengakui kebijakan pengetatan moneter tetap menjadi kunci atau jalan keluar jangka pendek untuk meredam tingginya inflasi seperti yang dilakukan oleh beberapa negara berkembang misalnya Turki, Brasil, dan Indonesia.

Berbeda dengan negara berkembang, laju pemulihan ekonomi negara maju masih tergolong lemah. Data ekonomi yang menunjukkan berkurangnya produktifitas, investasi, dan bertambahnya angka pengangguran menjadi kunci utama penghalang momentum pemulihan tersebut.

“Aksi bersama dibutuhkan untuk mendorong hasil produksi yang melemah sehingga pertumbuhan yang lebih stabil dapat dicapai,”kata IMF.

Konsolidasi fiskal dan moneter di negara maju, lanjut IMF, masih perlu dilakukan mengingat lebarnya kesenjangan hasil produksi dan rendahnya inflasi.

Tidak hanya itu, IMF juga mengingatkan Amerika Serikat untuk melanjutkan aksi pengurangan stimulus dengan bertahap agar tidak menimbulkan kepanikan pasar, terutama di negara berkembang.

“Ini merupakan kebijakan normalisasi moneter dan Amerika Serikat berkepentingan untuk itu. Yang lebih penting adalah menarik stimulus itu dengan bertahap,”tekan IMF.

Selain itu, IMF merekomendasikan Eropean Central Bank (ECB) untuk tetap melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter sedangkan Bank of Japan (BOJ) harus melakukan hal serupa ketika inflasi tidak berhasil mencapai target yaitu 2%.

Sekadar informasi, Jepang sempat menaikkan pajak penjualan pada April tahun lalu sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mengatasi ketidakseimbangan fiskal. Penaikan pajak penjualan tersebut secara signifikan memang mengakibatkan perlambatan pertumbuhan.

 Pada saat yang sama, Jepang mengguyur stimulus untuk mengatasi efek negatif dari penaikan pajak penjualan tersebut. IMF menyebutkan, penaikan pajak tersebut merupakan bagian dari strategi jangka panjang dan harus dilanjutkan pada tahun berikutnya untuk mengeluarkan kondisi deflasi berkepanjangan.

Berdasarkan analisis ekonomi, IMF menyatakan pengimplementasian reforamsi struktural, termasuk fiskal, tenaga kerja, dan investasi infrastruktur akan menambah 0,5% terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahunan selama 5 tahun mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper